Guru Besar Hukum UI Sebuit RKUHP Bakal Kriminalisasi Pers
- ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay
VIVA Politik – Ketua Komisi Penelitian, Pendapat, dan Ratifikasi Pers Ninik Rahayu menilai terdapat beberapa pasal dalam draf terbaru Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang berpotensi mengkriminalisasi jurnalis.
"Kami ingin supaya potensi kriminalisasi terhadap pers, kebebasan pers itu tidak terjadi," kata Ninik dalam keterangannya, Kamis, 21 Juli 2022.
Guru Besar Hukum Pidana sekaligus pengajar Program Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Indonesia (UI) Indriyanto Seno Adji memberikan sejumlah catatan soal polemik kriminalisasi pers.
"Yang kita bahas sekarang 19 (pasal) ya, khususnya mengenai kriminalisasi pers; banyak, sebenarnya, tapi banyak yang enggak ada gunanya kalau kita cukup memahami apa itu delik pers," kata Indriyanto.
Pertama, kata Indriyanto, mengenai ancaman kebebasan pers dengan pembatasan atas peliputan, penyiaran, penyebarluasan berita, dalam hal ini Pasal 281 huruf c RKUHP intinya “Tanpa izin pengadilan, merekam, mempublikasikan secara langsung atau membolehkan untuk dipublikasikan proses persidangan”.
"Bukan enggak boleh, tapi kalau kalian bisa bicara sama hakim, misalnya, apakah diperkenankan, kita lihat kepentingannya, boleh," ujarnya.
"Nah, kalau kita lihat di pasal 281 itu dijelaskan proses persidangan, memang universal, enggak boleh diliput itu. Contohnya, tindak pidana yang dilakukan oleh anak, perzinaan, itu tidak boleh diliput. Bahkan negara yang liberal sekalipun, wartawan tidak boleh meliput itu," katanya.
Indriyanto mengingatkan, jangan salah mengartikan dan menganggap bahwa pasal terkait berita bohong adalah untuk mengkriminalisasi pers. Sebenarnya, menurut dia, tindak pidana sudah terjadi bahkan sebelum berita tersebut dimuat.
"Siapa sih subjeknya untuk pemuatan atau publikasi dari berita? Coba siapa? Berita bohong, yang dicantum-cantumkan tadilah penyebaran berita bohong, penghasutan, penghinaan terhadap kekuasaan pemerintah yang sah, kekuasaan lembaga, harkat dan martabat presiden. Siapa subjek di situ? Dari pembuat dan publikasinya itu," katanya.
"Sudah dari awal ada tindak pidana, siapa itu? Ya, pemberi beritanya. Wartawan dikasih berita, wartawan muat; logikanya, itu wartawan kan yang memuat, yang dipidana kan. Yang memuat berita, yang melakukan publikasi. Dalam hukum pidana pers, delik pers, perkembangan delik pers, itu universal, bukan. Dia tindak pidananya sudah terjadi sebelum adanya pemuatan dan publikasi," ujarnya.
Terakhir, kata Indriyanto, sangat perlu untuk memahami delik pers. Karena jika tidak, Indriyanto menilai bukan hanya 19 pasal yang dianggap dapat menggerus kebebasan pers, tapi lebih daripada itu.
"Satu itu, menentukan subjek, bukan wartawannya. Jadi, kalau pemahaman teman-teman terhadap pasal ini seperti pemahaman logika awam, ya, dikriminalisasi. Enggak usah 19 pasal, 400 pasal ini kriminalisasi, bagian publikasi," katanya.