Kuliti Pasal Penghinaan Presiden di RKUHP, Refly Harun: Gebyah Uyah

Pakar hukum tata negara Refly Harun.
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso

VIVA Politik - Draf final Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) yang disetor pemerintah ke DPR masih jadi polemik. Sebab, salah satu pasal krusial  yaitu ancaman pidana bagi yang menghina Presiden dan Wakil Presiden tetap ada di RKUHP.

Polisi Pastikan Pelaku Pembubaran Diskusi Refly Harun Cs Tidak Menginap di Hotel Kemang

Pakar hukum tata negara Refly Harun menyoroti pasal 218 di RKUHP yang memuat ancaman pidana 3,5 tahun. Pun, dalam pasal itu menjelaskan kritik yang sedapat mungkin memberikan alternatif atau solusi.

Menurut dia, dalam penghinaan dan kritkan ini maka mesti dibedakan antara kebijakan serta Presiden sebagai dua hal yang berbeda. Dia menjelaskan jika ada umpatan kebijakan bodoh maka itu kritik. Alasannya, karena kebijakan itu diambil berdasarkan sebuah mekanisme dan proses yang dipimpin Presiden. 

Sudah 30 Anggota Polisi yang Diperiksa Terkait Pembubaran Paksa Diskusi Refly Harun Cs

"Tapi, bukan berarti yang kita bicarakan itu institusi kepresidenannya, (tapi) tiba-tiba personal Presiden. Karena kebijakan yang bodoh dan presiden bodoh itu dua hal yang berbeda. Dua hal yang tidak sama," kata Refly di akun YouTube-nya yang dikutip pada Jumat, 8 Juli 2022.

Dia tak menampik memang di lapangan akan ada celah kebebasan bagi semua pihak untuk mengatakan apa saja. Namun, ia bilang hal itu konsekuensi Demokrasi.  "Jadi, kita tidak boleh membatasi orang untuk berekspresi sepanjang ekspresi itu terhadap kelembagaan, bukan jabatan," tutur Refly.

Saksi Kunci Pembubaran Paksa Diskusi Refli Harun cs Bukan Orang Sembarangan

Mahasiswa demo tolak RKUHP di depan gedung DPR.

Photo :
  • VIVA.co.id/Andrew Tito

Baca Juga: Draf Final RKUHP: Hina Presiden-Wapres Terancam Penjara 3,5 Tahun

Menurut Refly, selama kritik terkait kebijakan meskipun keras sebenarnya tak ada masalah. Berbeda dengan konteks penghinaan.

Dia menyampaikan untuk penghinaan itu berbeda karena tak terkait dengan jabatan. "Misalnya tersinggung dengan yang sama sekali tidak ada kaitannya dengan jabatannya," ujarnya.

Refly mencontohkan kaegori penghinaan itu jika ada seorang pejabat yang ibu dan anaknya dimaki-maki. Bagi dia, itu tidak ada kaitan dengan jabatan karena menyangkut personal.

"Tapi, kalau orang mengkritik kebijakannya, walaupun itu keras ya tetaplah kebijakan seperti dalam konteks kebijakan bodoh bukan berarti kemudian pemimpin atau pejabatnya yang bodoh. Tapi, kebijakannya," katanya.

Pun, dia menekankan kembali antara kritik dan penghinaan sebagai dua hal berbeda. Refly mengkritik jangan karena tak bisa membedakan antara kritik dan penghinaan sehingga menyamaratakan atau gebyah uyah.

"Hanya kita yang tidak mau membedakan atau orang yang dikritik itu yang tiba-tiba gebyah uyah menyamaratakan kritik dianggap penghinaan," ujarnya.

"Padahal, penghinaan itu beda. Kalau penghinaan itu sama sekali dengan kelembagaan atau jabatan. Itu penghinaan, menghina anak, menghina istri, menghina ayah, yang tidak ada kaitannya dengan jabatan," tuturnya.

Namun, kata dia, jika masih terkait dengan tugas dan jabatan tidak boleh dipidanakan. Meskipun kritik itu disampaikan dalam bahasa yang kasar. 

Untuk diketahui, draf final RKUHP masih tetap mempertahankan pasal penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden. Pasal ini menuai protes dari banyak pihak seperti mahasiswa hingga pegiat HAM.

Ancaman pidana dalam pasal penghinaan Presiden yakni 3,5 tahun penjara.  Namun, untuk proses hukum itu, Presiden wajib melaporkan sendiri hal itu ke kepolisian.

"Setiap orang yang di muka umum menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri Presiden atau Wakil Presiden dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) Bulan atau pidana denda paling banyak kategori IV," demikian isi Pasal 218 ayat 1.

Lalu, ada juga Pasal 219 dalam RKUHP tersebut yakni soal menghina Presiden dan Wakil Presiden melalui media sosial.

“Setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum, memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum, atau menyebarluaskan dengan sarana teknologi informasi yang berisi penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat terhadap Presiden atau Wakil Presiden dengan maksud agar isinya diketahui atau lebih diketahui umum dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak kategori IV." 


 

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya