Ketua DPD: Upaya-upaya untuk Menunda Pemilu, Pasti Kami Halangi

Ketua DPD RI, AA LaNyalla Mahmud Mattalitti.
Sumber :

VIVA - Ketua DPD, AA La Nyalla Mahmud Mattalitti, menegaskan lembaga yang dipimpinnya siap menjadi palang pintu untuk menghadang wacana penundaan pemilu.

Pilpres 2024 Dinilai Mulai Geser Demokrasi RI Jadi Otokrasi Elektoral yang Mengkhawatirkan

Ketua DPD RI, AA LaNyalla Mahmud Mattalitti

Photo :
  • DPD RI

Tak Ada Urusan dengan Kepentingan Oligarki

Sibuk Politik, 2024 Jadi Tahun yang Penuh Guncangan bagi Krisdayanti

"Upaya-upaya untuk menunda pemilu, pasti kami halangi. Saya duduk di sini, sebagai Ketua DPD RI karena dipilih rakyat. Saya tidak ada urusan dengan kepentingan oligarki," kata LaNyalla, Senin, 21 Maret 2022.

Hal itu juga disampaikan Senator asal Jawa Timur itu sekaligus menjawab sebuah koran ternama di ibu kota yang mempertanyakan bagaimana DPD akan menghalangi usulan penundaan pemilu atau usulan perubahan konstitusi melalui amandemen. Sebab, jumlah anggota DPD tidak signifikan untuk menghadang bila partai politik kompak.

Mahalnya Biaya Pemilu Disebabkan Rumitnya Regulasi, Menurut Anggota DPR

"Saya katakan, keputusan perubahan pasal dalam amandemen diputuskan dalam sidang MPR. Sedangkan MPR terdiri dari anggota DPR dan anggota DPD RI. Pertanyaan saya, jika tidak ada anggota DPD di dalam sidang tersebut, apakah masih bisa disebut sebagai sidang MPR?" kata La Nyalla.

Baca juga: Luhut Tak Mau Buka Big Data 110 Juta Rakyat Ingin Pemilu Ditunda

Sampaikan kepada Rakyat Secara Terbuka

Kalaupun ada upaya-upaya dalam amandemen tersebut untuk memasukan agenda perpanjangan masa jabatan presiden atau perubahan isi pasal yang memungkinkan pemilu dapat ditunda dengan mudah, La Nyalla memastikan akan menyampaikan secara terbuka kepada rakyat.

"Bahwa ada selundupan seperti ini. Yang menyelundupkan si A dan si B. Saya akan sampaikan terbuka saja. Tidak ada masalah untuk saya. Ini demi kepentingan rakyat dan bangsa," ujarnya.

Oleh karena itu, La Nyalla menyebut lembaganya sudah membuat tata tertib, bahwa keputusan Sidang Paripurna DPD bersifat mengikat. Termasuk agenda dan kepentingan DPD dalam amandemen ke-5 akan diputuskan di Sidang Paripurna.

Sebab, dalam amandemen ke-5 nanti, jika memang terjadi, DPD akan mendorong penguatan fungsi dan peran DPD sebagai wakil dari daerah, sekaligus wakil dari unsur non-partisan, non partai politik.

"Karena arah perjalanan bangsa ini tidak bisa kita serahkan total kepada partai politik saja," ujarnya.

Soal Big Data

La Nyalla melanjutkan, belum lama ini Menko Maritim dan Investasi mengatakan puluhan juta orang menghendaki pemilu ditunda berdasarkan big data. Namun, La Nyalla membantahnya melalui data yang diperoleh dari big data.

"Karena kami di DPD RI juga menggunakan mesin big data sebagai bacaan persoalan-persoalan yang ada di daerah. Jadi kalau saya lihat, upaya-upaya yang dilontarkan melalui pernyataan-pernyataan, baik itu dari ketua partai maupun dari Pak Luhut, sebenarnya adalah agenda setting untuk membentuk persepsi publik, sekaligus membentuk opini di masyarakat, bahwa penundaan pemilu memang pantas untuk dilakukan," kata LaNyalla.

Lembaga Survei Bisa Dipesan

Menurutnya, hal ini hampir mirip dengan lembaga-lembaga survei, yang merilis hasil survei untuk membentuk persepsi publik atau agenda setting. Bahwa seolah-olah Si A atau Si B mendapat dukungan kuat, sementara Si C dan Si D tidak memiliki elektabilitas.

"Ini saya sampaikan sebagai contoh saja, tanpa bermaksud menyinggung saudara Burhanudin Muhtadi yang hadir di sini. Bahwa nyatanya ada lembaga survei yang bisa dipesan untuk melakukan itu. Tentu bukan lembaganya saudara Burhanudin Muhtadi," kata La Nyalla.

Jadi, menurut La Nyalla, persoalan penundaan pemilu atau perpanjangan masa jabatan presiden harus kita tolak dengan menggunakan kerangka berpikir seorang negarawan.

"Bahwa penolakan itu adalah prinsip yang dikehendaki bangsa ini. Bangsa ini sudah sepakat bahwa masa jabatan presiden hanya 5 tahun, dan maksimal 2 periode, bukan 3 atau 4 periode," ujarnya.

Dikatakannya, pemilu merupakam mekanisme evaluasi yang diberikan kepada rakyat setiap 5 tahun sekali, bukan 7 tahun atau 8 tahun.

"Ini prinsip. Sehingga meskipun konstitusi bisa diubah, tetapi ini adalah amanat kebangsaan, di mana bangsa ini telah belajar dari dua Orde di mana masa jabatan presiden tidak dibatasi," katanya.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya