Warga Rebutan Migor, PKS: Ibarat Pepatah Tikus Mati di Lumbung Padi

Warga mengatre minyak goreng murah saat operasi pasar.
Sumber :
  • tvOne/Teguh Joko Sutrisno

VIVA – Kelangkaan minyak goreng membuat warga terutama ibu rumah tangga rela mengantre berjam-jam di toko perbelanjaan. Video antrean warga ini bahkan ada yang viral di media sosial.

Cegah Antrean Panjang, MRT Jakarta Sistem Baru Pembelian Tiket

Selain itu, warga juga rela berdesak-desakan demi mendapatkan minyak goreng yang belakangan sulit ditemukan di pasaran.

Anggota DPR Fraksi PKS, Andi Akmal Pasluddin menyebut kondisi tersebut mencoreng wajah Indonesia di mata dunia. Sebab, Indonesia sebagai produsen minyak sawit terbesar di dunia. Namun, rakyatnya kesulitan mendapatkan minyak goreng.

Cerita Perjuangan WNI Haji Tanpa Antre di Korea Selatan, Ini Plus Minusnya

Dia menyampaikan data pada Oktober 2020, Indonesia sempat memproduksi minyak sawit sebesar 5,24 juta ton dengan besaran konsumsi hanya 1,5 juta ton. Meski setahun kemudian pada Oktober 2021, turun 15,8 persen, di mana produksi minyak goreng sebesar 4,41 juta ton, tetapi konsumsi masih konstan sekitar 1,5 juta ton.

“Bagaimana dunia tidak memandang miring dengan situasi negara kita? Dengan kelimpahan pangan pada komoditas minyak goreng, namun rakyatnya kesulitan mendapatkan produk ini. Ini kan sudah menjadi ibarat pepatah tikus mati di lumbung padi," ujarnya.

Tagih Kepastian Utang Rafaksi Migor, Aprindo: Jangan Jadi Tanggungan Pemerintah Berikutnya

Dia menyindir dengan kondisi Indonesia kaya minyak sawit mestinya  tak ada alasan kekurangan minyak goreng. "Tapi, situasi wajah negara kita sangat miris pada tata kelola komoditas minyak goreng ini," tutur Andi.

Andi Akmal Pasluddin (PKS)

Photo :
  • Antara/ Yusran Uccang

Akmal lebih jauh mengatakan, komoditas pangan strategis ini harus dipacu untuk dapat diproduksi dalam negeri. Dengan demikian, kualitas dapat terjaga karena sifat kadaluarsanya yang cepat, dan harganya dapat dikendalikan dengan instrumen kebijakan negara.

Ia mencontohkan seperti beras, gula, turunan kedelai (tahu tempe), cabai, minyak goreng, daging sapi, daging ayam, telur ayam, bawang dan jagung bisa dioptimalkan produksi dalam negeri. Sedangkan, komoditas lain dengan portofolio lahan pertanian yang ada, negara dapat mendatangkan dari luar.

“Saya tidak anti impor. Tapi, mesti ada upaya mengurangi jumlah impor pangan ini agar ada pemberdayaan petani peternak sekaligus memberikan kebutuhan pada masyarakat banyak yang sebagai konsumen," jelas Anggota Komisi IV DPR itu.

Sementara, terkait dengan keseragaman harga, Akmal menyarankan pemerintah memikirkan subsidi transportasi pangan. Tujuannya agar ada kesamaan harga komoditas pangan antara di desa dan di kota.

Akmal juga meminta pemerintah untuk melakukan kebijakan yang relatif agresif pada penahanan ekspor sehingga stok dalam negeri aman. Hal itu guna meminimalisir antrian panjang dan rebutan minyak goreng di berbagai daerah seperti di Pare-Pare dan Rembang.

“Jangan sampai pemerintah menuduh rakyat menimbun minyak goreng. Logika nya di mana mau nimbun, untuk dapat seliter saja rebutan dan setiap pembelian dibatasi maksimal dua liter," ujar Andi.

Menurut politikus asal Sulawesi Selatan ini, justru yang perlu ditelusuri adalah kondisi sistemik apa yang berkemampuan menimbun minyak goreng dengan jumlah besar. Faktor itu diduga pemicu kelangkaan stok di berbagai wilayah dan pertokoan terjadi.

"Jangan gara-gara minyak goreng, wajah negara kita ini hancur yang memperlihatkan situasi krisis yang buruk akibat perilaku masyarakat yang berebutan demi satu liter minyak goreng,” tuturnya.


 

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya