Yusril Ungkap 3 Opsi Pemilu 2024 Ditunda: Tapi Risiko Politiknya Besar
- VIVA/Agus Rahmat
VIVA – Pakar Hukum Tata Negara, Yusril Ihza Mahendra berpendapat penundaan Pemilu 2024 yang dihembuskan oleh sejumlah elite politik hanya mungkin mendapatkan keabsahan dan legitimasi jika dilakukan dengan menempuh tiga cara. Namun, ia menilai Presiden Joko Widodo (Jokowi) tidak akan melaksanakannya karena risiko politik yang tinggi.
Pertama, kata Yusril, Amandemen UUD RI 1945. Kedua, Presiden mengeluarkan Dekrit sebagai sebuah tindakan revolusioner; dan ketiga menciptakan konvensi ketatanegaraan (constitutional convention) yang dalam pelaksanaannya diterima dalam praktik penyelenggaraan negara.
"Ketiga cara ini sebenarnya berkaitan dengan perubahan konstitusi, yang dilakukan secara normal menurut prosedur yang diatur dalam konstitusi itu sendiri, atau cara-cara tidak normal melalui sebuah revolusi hukum, dan terakhir adalah perubahan diam-diam terhadap konstitusi melalui praktik, tanpa mengubah sama sekali teks konstitusi yang berlaku," kata Yusril melalui keterangannya pada Sabtu, 26 Februari 2022.
Menurut dia, dasar paling kuat untuk memberikan legitimasi pada penundaan Pemilu dan sebagai konsekuensinya adalah perpanjangan sementara masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden, MPR, DPR, DPD dan DPRD. Itu adalah dengan cara melakukan perubahan atau amandemen terhadap UUD 1945.
Prosedur perubahan konstitusi sudah diatur dalam Pasal 37 UUD 1945, Pasal 24 sampai Pasal 32, UU Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD sebagaimana telah diubah, terakhir dengan UU Nomor 13 Tahun 2019, serta Peraturan Tata Tertib MPR.
"Apa yang perlu diubah sebenarnya bukanlah mengubah pasal-pasal UUD 1945 yang ada sekarang secara harfiah, tetapi menambahkan pasal baru dalam UUD 1945 terkait dengan pemilihan umum," ujarnya.
Selain mengubah UUD 1945, Yusril mengatakan Presiden mengeluarkan Dekrit menunda pelaksanaan pemilu dan sekaligus memperpanjang masa jabatan semua pejabat yang menurut UUD 1945 harus diisi dengan pemilu. Dekrit adalah sebuah revolusi hukum, yang keabsahannya harus dilihat secara post-factum.
"Pertanyaannya sekarang, apakah Presiden Jokowi akan memilih mengeluarkan Dekrit menunda Pemilu dan memperpanjang masa jabatan semua penyelenggara negara termasuk dirinya, yang menurut UUD 45 harus diisi melalui Pemilu? Dugaan saya Presiden Joko Widodo tidak akan melakukan itu. Risiko politiknya terlalu besar," jelas dia.
Presiden Jokowi sendiri, kata dia, sudah menyampaikan tidak ingin memegang jabatan tiga periode. Langkah itu, lanjut Yusril, beliau tidak punya landasan konstitusional dan bertentangan dengan cita-reformasi. Apakah yang dikatakan Presiden Joko Widodo itu adalah sesuatu yang keluar dari hati nuraninya, atau hanya sekedar ucapan basa-basi saja.
"Saya tidak tahu. Sebagai manusia, saya hanya memahami yang zahir, dalam makna, itulah kata-kata yang beliau ucapkan dan saya pahami. Sesuatu yang batin di balik yang zahir itu, semuanya berada di luar jangkauan saya untuk memastikannya," katanya.
Selanjutnya, Yusril menambahkan untuk menunda Pemilu dan memperpanjang masa jabatan para penyelenggara negara adalah dengan menciptakan konvensi ketatanegaraan atau constitutional convention. Perubahan bukan dilakukan terhadap teks konstitusi, UUD 1945, melainkan dilakukan dalam praktik penyelenggaraan negara.
Dalam Pasal 22E UUD 1945 tegas diatur, bahwa pemilu diselenggarakan setiap lima tahun sekali untuk memilih DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden serta DPRD. Pasal 7 UUD 1945 mengatur, bahwa masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden adalah lima tahun. Sesudah itu dapat dipilih kembali untuk satu kali masa jabatan lagi.
"Konvensi ketatanegaraan tentang penundaan Pemilu sulit diciptakan, apalagi orang awam dengan mudah akan menganggap ada penyelewengan terhadap UUD 1945. Presiden Jokowi tentu tidak dalam posisi untuk dapat menciptakan konvensi ketatanegaraan sebagaimana digagas Sjahrir, dan dilaksanakan Wapres Mohammad Hatta tahun 1945 itu," tandasnya.