Emil Dardak Bicara 'Kuda Hitam' AHY dan Nasib Demokrat pada 2024
- VIVA/M Ali Wafa
VIVA – Pelaksana Tugas Ketua Partai Demokrat Jawa Timur Emil Elestianto Dardak ikut memberikan penjelasan kepada publik tentang istilah "kuda hitam" yang dimunculkan oleh sang ketua umum Agus Harimurti Yudhoyono alias AHY.
Istilah itu, kata Emil, mengacu pada popularitas dan elektabilitas Partai Demokrat sekaligus AHY menyongsong pemilu tahun 2024. Jika ada pihak-pihak yang memandang remeh Partai Demokrat sekarang, katanya, mestinya itu menjadi pelecut semangat untuk bekerja lebih keras.
"Partai Demokrat disebut 'kuda hitam', itu artinya, mental sebagai underdog, harus fight hard," katanya dalam satu kesempatan wawancara eksklusif dengan The Interview di Jakarta, Minggu, 6 Februari 2022.
Begitu pun jika, misalnya, popularitas dan elektabilitas Partai Demokrat dan AHY sekarang sedang bagus menurut hasil survei, seyogianya tidak membuat para kader partai itu terbuai.
Dia mencontohkan beberapa hasil survei yang menunjukkan elektabilitas AHY berada di lima besar. Itu capaian yang tidak mudah, menurut Emil. Tetapi, katanya, "jangan terlena, misalnya terlena dengan hasil survei".
Demokrat lebih profesional
Satu hal yang pasti, kata Wakil Gubernur Jawa Timur itu, Partai Demokrat telah mereformasi diri menjadi partai yang modern dan diatur serta dikelola secara profesional. Di tingkat pimpinan pusat banyak diisi kader-kader muda dan progresif.
Mekanisme suksesi kepemimpinan pun diubah sedemikan rupa dengan metode baru yang tak lagi mengandalkan pemungutan suara, melainkan uji kompentensi dan kapasitas melalui fit and proper test.
Dalam pemilihan ketua Partai Demokrat Jawa Timur, misalnya, bersaing Emil Dardak dan Bayu Airlangga, menantu mantan gubernur Jawa Timur sekaligus mantan ketua partai itu, Soekarwo. Dalam proses seleksi yang mensyaratkan dukungan Dewan Pimpinan Cabang Partai Demokrat se-Jawa Timur, perolehan suara Emil kalah dari Bayu: Emil mengantongi 13 dukungan DPC, sementara Bayu 25 DPC.
Tetapi dukungan itu tidak menentukan bakal dipilih sebagai ketua, melainkan harus melewati serangkain uji kepatutan dan kelayakan (fit and proper test) yang diselenggarakan oleh pimpinan pusat di Jakarta. Keputusan akhirnya ada pada Tim Tiga yang terdiri dari Ketua Umum, Sekretaris Jenderal, dan Ketua Badan Pembina Organisasi, Kaderisasi, dan Keanggotaan (BPOKK).
Mekanisme fit and proper test itu, katanya, lebih menekankan pada aspek kemampuan manajerial, kepemimpinan, intelektual, dan integritas seorang calon ketua. "Kita (para kandidat) akan digali juga walk the talk: menjalankan apa yang kita omongkan," katanya.
"Proses itu berjalan secara serius dan objektif, yang membuat saya kaget: partai politik ini dikelola kayak organisasi profesional, ya. Terlepas dari hasilnya, saya merasa ikut membangun peradaban politik yang baru," ujarnya.