Dirut Diusir, DPR Investigasi Khusus Proyek Krakatau Steel

Wakil Ketua Komisi VII DPR RI Bambang Haryadi
Sumber :
  • DPR RI

VIVA – Komisi VII DPR RI segera melakukan investigasi terkait berhentinya Proyek Blast Furnace atau peleburan tanur tinggi. Proyek tersebut dihentikan pada tahun 2019 karena dianggap merugikan PT Krakatau Steel sebagai pengelolanya. 

DPR: Harusnya Pelaku Pemagaran Laut di Bekasi Taat Aturan

Demikian rencana investigasi tersebut dikatakan Wakil Ketua Komisi VII DPR, Bambang Haryadi pasca mengusir Direktur Utama Krakatau Steel, Silmy Karim saat rapat dengar pendapat (RDP), hari ini, Senin, 14 Februari 2022.

"Kita sepakati bahwa kita akan lakukan investigasi khusus untuk Krakatau Steel," kata Bambang di komplek Parlemen, Senayan, Jakarta. 

Pimpinan DPR Tak Setuju Usulan DPD Soal MBG Pakai Dana Zakat: Lebih Baik Maksimalkan APBN

Diketahui, Blast Furnace menjadi salah satu proyek yang merugikan emiten dengan kode saham KRAS, karena adanya ketidakseimbangan antara kapasitas fasilitas hulu (ironmaking and steelmaking) dan kapasitas fasilitas hilir (rolling). 

Hal itu membuat perusahaan harus mengimpor bahan baku, bahkan perusahaan memproduksi baja setengah jadi dengan harga yang tinggi dan berfluktuasi.

Dukung Gencatan Senjata Hamas-Israel, PKS Ingin Ada Solusi Permanen Kemerdekaan Palestina

Meski kerugian perusahaan belum dipastikan nilainnya, tapi manajemen KRAS mengakui bila Blast Furnace dilanjutkan, maka proyeksi kerugian perusahaan dalam 5 tahun ke depan bisa mencapai USD2,5 miliar.

Kekhawatiran itulah yang membuat perusahaan menghentikan operasional Blast Furnace pada 2019 lalu. Keputusan itu pun menjadi sorotan Komisi VII DPR saat ini. 

Bambang menyebut, langkah penutupan pabrik tidak sejalan dengan upaya penguatan industri baja dalam negeri. Sebab, pada waktu bersamaan penutupan Blast Furnace diikuti oleh impor baja. 

Bambang menganggap langkah KRAS tidak sesuai dengan semangat Presiden Joko Widodo yang terus mendoromg penguatan industri baja di Indonesia.

"Bijih besinya banyak di Indonesia, bertebaran dimana-mana bahkan Indonesia salah satu negara penghasil bijih besi terbesar di dunia. Tapi lucu kita malah impor," ujarnya. 

Bambang menambahkan, seharusnya KRAS memiliki semangat yang sama dengan Kepala Negara. Bukan justru berusaha menghentikan industri-industri peleburan milik.

"Malah ini akhirnya kan trader kan lucu, satu sisi dia bilang industrinya melemah tapi satu sisi untung. Untungnya dari mana kalau bukan dari trader? Ini jangan sampai jadi perusahaan calo ini. Jadi kami ingin dalami, kami ingin investigasi kenapa blast furnace yang ada saat ini harus dihentikan, kalau alasan rugi apakah ruginya sedemikian? apakah lebih merugi mana rugi dihentikan ataukah membuat baru? ini kan sesuatu yang unik," ujarnya.

Silmy sempat menjelaskan mengenai tidak efektifnya proyek Blast Furnace, sebelum dia diusir dari ruang sidang. Dia mengungkapkan karena tidak adanya fasilitas basic oksigen furnace. 

Dia menuturkan, pada 2008 lalu, Krakatau Steel memiliki fasilitas hulu berupa direct reduction plant, slab steel plant, dan billet steel plant.

Saat itu, manajemen KRAS berhitung bahwa pengembangan kapasitas baja dimulai dari fasilitas hulu dilakukan dengan memanfaatkan fasilitas eksisting. 

Pertimbanganya, apabila perusahaan membangun Blast Furnace dengan teknologi basic oksigen furnace, maka KRAS harus mendemolisi fasilitas eksisting, sehingga diputuskan pembangunan blast furnace dengan integrasi atau modifikasi fasilitas yang ada.

Namjn dalam proses produksinya, khususnya produksi hot metal dalam menghasilkan slab internal, juatru didapati hasil produksi slab lebih mahal dibanding harga slab pasar. Bahkan, kata dia lebih tinggi dibanding harga jual HRC.

Silmy menjelaskan juga bahwa harga slab produksi mencapai USD742 per ton, harga slab market USD476 per ton, sementara harga HRC market senilai USD629 per ton.

Diterangkannya, atas hasil kajian KPMG, maka dengan perubahan asumsi pada saat perencanaan dan kondisi aktual, kinerja Krakatau Steel akan lebih buruk dengan mengoperasikan Blast Furnace dalam  lima tahun ke depan. Bahkan, emiten diproyeksi mengalami kerugian dan memerlukan modal kerja hingga USD2,5 miliar.

"Manajemen saat itu yaitu kami-kami ini ya memutuskan tidak mengoperasikan atas seluruh kajian yg ada termasuk, kejaksaan juga, kami hentikan sambil kami siapkan juga fasilitasnya," ujarnya.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya