Debat Lawan Deddy Sitorus, Eggi Sudjana: Saya Lawyer Bos!

Debat Deddy Sitorus dengan Eggi Sudjana di Catatan Demokrasi tvOne
Sumber :
  • tvOne

VIVA – Politikus PDI Perjuangan (PDIP) Deddy Sitorus terlibat perdebatan dengan Ketua Tim Pembela Ulama dan Aktivis Eggi Sudjana. Keduanya adu argumen soal perkara yang menjerat Edy Mulyadi terkait Kalimantan tempat jin buang anak.

Komjen Setyo Budiyanto Terpilih jadi Ketua KPK, Yudi Purnomo: Ada Tugas Berat Memulihkan Kepercayaan Publik

Perdebatan keduanya terjadi di Catatan Demokrasi tvOne 'Ujaran Kebencian: Dari Bahasa Sunda hingga Jin Buang Anak'. Sebelum adu argumen, Eggi di salah satu sesi mengawali paparannya menyangkut konstruksi hukum.

Menurut dia, apa yang disampaikan Edy Mulyadi sebenarnya dilindungi dalam Pasal 28 UUD 1945 menyangkut kebebasan menyatakan pendapat. Selain itu, ada beberapa aspek legal pendukung lainnya.

Pemerintah Inggris Umumkan Dukung Indonesia Gabung OECD

Bagi dia, diksi ‘tempat jin buang anak’ itu kiasan yang biasa. Bahkan, dijadikan guyon oleh warga wilayah Jabodetabek terkait candaan tempat tinggal.

Bagi Eggi, dalam persoalan seperti ini jangan ditarik ke hukum adat. Alasannya karena bertentangan dengan aturan hukum seperti Pasal 27 Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronika (UU ITE). 

DPR Telah Pilih Lima Dewas KPK Periode 2024-2029, Tumpak Hatorangan: Mudah-mudahan Lebih Baik

"Maka kita harus berangkat kepada objektivitas, sistematis, toleran, jujur dan adil. Dalam melihat masalah ini, yang benar kita ikutin perkap Kapolri," kata Eggi dikutip VIVA pada Kamis, 27 Januari 2022.

Menurut dia, merujuk surat edaran Kapolri itu restorative justice jadi jalan tengah dalam perkata terkait UU ITE.

"Dalam perspektif kalau orang itu sudah minta maaf ya dimaafkan. Itu jalan tengah. Kalau saya tidak keliru ya," tutur Eggi.

Debat Deddy Sitorus dengan Eggi Sudjana di Catatan Demokrasi tvOne

Photo :
  • tvOne

Deddy Sitorus sempat memotong paparan Eggi dengan menyinggung kasus Ferdinand Hutahaean. Menurut dia, dengan penjelasan Eggi maka ia mempertanyakan konstruksi hukum Ferdinand.

"Itu saudara Ferdinand Hutahaean masuk situ nggak?" tanya Deddy.

"Masuk situ mestinya. Kalau dia sudah minta maaf," jawab Eggi.

Deddy mengatakan Ferdinand dalam kasusnya sudah menyampaikan permintaan maaf. Dia bertanya lagi ke Eggi apakah bersedia menjadi pembela Ferdinand.

"Mau nggak jadi pembelanya?" kata Deddy bertanya lagi.

"Mau saya," tutur Eggi.

Eggi menegaskan untuk urusan hukum menyesuaikan sudut pandangnya, ia bisa saja jadi pembela.

"Kalau untuk legal. Oh, saya lawyer bos! Ketua Tim Pembela Ulama dan Aktivis," kata Eggi yang juga eks caleg PAN itu.

"Walaupun saya nggak setuju dengan Hutahaean, tapi dia aktivis saya bela. Itu objektivitas namanya. Tidak subjektif saya," sebut Eggi.

Dia menyampaikan kembali surat edaran Kapolri terkait restorative justice mesti jadi acuan. Pun, ia mau ini jadi solusi dalam perkara Edy Mulyadi yang sudah minta maaf berkali-kali.

Setelah Eggi, pengurus PWNU DKI Jakarta, Taufik Damas sempat menyampaikan argumennya. Dia mengingatkan meski yang disampaikan Edy hanya majas tapi ucapannya tidak boleh melanggar kebebasan orang lain. 

Taufik minta perkara Edy sebaiknya diproses secara hukum sesuai aturan yang ada. Kata dia, menyepelekan, merendahkan menghina salah suku di Indonesia itu sama dengan merusak sila ketiga Pancasila, persatuan Indonesia.

Eggi sempat menepis argumen Taufik. Dia mengatakan mesti dipahami dulu konstruksi hukum dalam perkara Edy. Lagipula, ucapan Edy tak menyebut suku tapi menyinggung Kalimantan.

Deddy Sitorus pun menyela dan meminta waktu ke presenter untuk bicara. Dalam penjelasan panjang lebarnya, ia meyakini Polri dalam perkara Edy akan meminta penjelasan ahli bahasa hingga ahli hukum apakah lanjut atau tidak ke pengadilan.

Dia meminta hal ini sudah biasa dan jangan dijadikan polemik. Apalagi menurutnya RI merupakan negara hukum.

Deddy kemudian mengutip filsuf dan ekonom Skotlandia, John Stuart Mill bahwa dalam menyampaikan pendapat, kebebasan bicara justru jangan membuat kerusakan.

"Begini yang dilakukan oleh Edy Mulyadi kita mari bicara teks dan konteks. Teksnya menurut versi dia. Menurut versi orang lain beda," ujar Deddy. 

Dia mengaku sebagai anggota DPR dari daerah pemilihan Kalimantan merasa terhina karena Edy menganalogikan sebagai tempat jin buang anak. Pernyataan itu terkesan menganggap Kalimantan sebagai tempat maha jauh, tempat orang tidak mau datang.

Deddy menyinggung Kalimantan itu punya sejarah yang bisa dirunut sampai 8 ribu tahun sebelum masehi. Bagi dia, Kalimantan memiliki kebudayaan dan tradisi. 

"Ini yang menjadi persoalan. Supaya kita paham, bahwa luka yang ditimbulkan dari pernyataan itu sangat dalam," kata Deddy.

Kemudian, ia mengaku juga marah saat koleganya di PDIP yaitu Arteria Dahlan mengkritik Kajati berbahasa Sunda dalam rapat. 

Deddy yang menyinggung kasus Arteria, Eggi lantas langsung bereaksi.

"Nah, bantu dong. Sunda nih Sunda," kata Eggi.

Deddy mengaku usai omongan Arteria heboh, ia meminta yang bersangkutan untuk langsung minta maaf. Tapi, ia tak mau bicara Arteria dan melanjutkan kembali paparannya soal ucapan Edy terkait Kalimantan tempat jin buang anak. 

Bagi dia, proses hukum untuk Edy harus tetap jalan karena juga untuk keadilan. Dia meminta agar menghormati perasaan masyarakat Kalimantan.

Setelah Deddy, Eggi coba ingin bicara lagi. Dia minta isu Arteria Dahlan tetap disinggung dalam diskusi. Sebab, sebagai warga suku Sunda, ia merasa ucapan Arteria itu semacam sarkasme yang diduga ada kebencian di dalam pikiran.

Dia meminta agar Deddy dan PDIP juga objektiVitas terhadap perkara Arteria. Bukan hanya mempersoalkan proses hukum ke Edy Mulyadi.

"Saya biasa dididik dengan objektivitas. Oleh karena itu kembali kepada si Arteria Dahlan, objektivitasnya bagaimana PDIP?" tanya Eggi.

"Oh, sangat jelas, sangat jelas," kata Deddy.

"Bagaimana dia, diadili juga?" tanya Eggi lagi.

"Oh iya," sebut Deddy.

"Top!" ujar Eggi menimpali.

Deddy menjawab kalau Arteria sudah mendapatkan sanksi dari DPP PDIP.

Namun, Eggi meminta sanksi untuk Arteria agar dicopot dari Anggota DPR.

"Copot juga dong dia," tutur Eggi.

Deddy merespons Eggi. Menurutnya sanksi pencopotan tidak ada dan bukan keputusan PDIP. Sebab, PDIP punya aturan organisasi dan Anggota DPR juga memiliki hukum yang mengikat.

"Anggota DPR juga ada hukum yang mengikat. Kan tidak semudah itu. Kalau setiap orang ketelingsut sekali ngomong dan langsung dipecat tumbang semua di parlemen," jelas Deddy.

"Kalau logika itu, kalau Edy baru ngomong sekali?" kata Eggi ke Deddy.

"Loh, beda i" tutur Deddy.

"Jangan gitu. Hukum nggak boleh beda," sebut Eggi.

Deddy menjelaskan maksud beda antara Arteria dengan Edy karena dilihat dari faktanya. Selain itu, status Ateria sebagai Anggota DPR yang dilindungi dalam melakukan tugas-tugasnya. 

Dia pun sudah konfirmasi ke Arteria terkait ucapannya yang meminta Jaksa Agung Burhanudin untuk mencopot Kajati berbahasa Sunda dalam rapat. Deddy menegaskan PDIP tak membela Arteria.

"Sangat jelas, bahwa DPP PDIP  dan DPD PDIP Jawa Barat itu memberikan sanksi kepada dia," ujar Deddy.

Tak puas dengan jawaban Deddy, Eggi menyinggung Arteria yang menggunakan kalimat ujuk-ujuk saat rapat di DPR. Sebab, ujuk-ujuk adalah Bahasa Sunda.

"Tapi, dia ngomong ujuk-ujuk di rapat DPR? Ujuk-ujuk," kata Eggi.

Perdebatan keduanya pun disudahi saat budayawan Ridwan Saidi mengajukan pertanyaan soal Arteria. Lalu, presenter Catatan Demokrasi meminta Deddy dan Eggi untuk menahan argumennya.
 

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya