Ambang Batas Capres Dinilai Timbulkan Pembelahan di Masyarakat
- VIVA/M Ali Wafa
VIVA – Adanya Presidential Threshold atau PT, ambang batas partai politik untuk mengajukan calon presiden (capres), dianggap bisa menimbulkan polarisasi di tengah-tengah masyarakat. Pemilu 2019 yang dijadikan contoh. Sebab PT tinggi 20 persen, membuat gabungan partai politik hanya bisa mengajukan dua pasangan calon.
Ketua Umum Partai Gelora Anis Matta menilai, perlu ada koreksi besar-besaran. Apalagi sejarah pemilu lalu, membuat banyaknya penyelenggara pemilu yang meninggal dunia akibat kelelahan. Selain soal pemilu serentak.
"Persyaratan presidensial threshold (20 persen kursi DPR) menyebabkan polarisasi yang sangat tajam,” tegas Anis Matta dalam keterangannya, Kamis 6 Januari 2021. Itu disampaikannya dalam Gelora Talk bertajuk 'Menakar Reformasi Sistem Politik Indonesia, Apakah Mungkin Jadi Gelombang?'.
Dengan PT tinggi yang membuat calon presiden dan wakil presiden hanya dua pasang, berpengaruh pada polarisasi masyarakat di dua kubu. Hingga terjadi pembelahan, bahkan masih terlihat hingga kini walau pemilunya sudah selesai dan kedua pesaing itu bahkan kini bersama-sama di dalam kabinet.
PT juga dinilai dapat menghambat lahirnya pemimpin-pemimpin nasional. Karena demokrasi yang berhasil bukan dari ambang batas. Tetapi yang perlu dilihat adalah paritisipasi masyarakat.
"Ini kalau kita mengenyampingkan teori konspirasi, tapi angka 900 lebih hilang nyawa dari penyelenggara Pemilu itu. Artinya untuk setiap satu kursi DPR RI ada hampir dua nyawa yang jadi korbannya, itu angka yang sangat besar," kata mantan Presiden PKS itu.
Lanjut Anis, ditambah daftar pemilih dalam Pemilu 2019 dikurangi suara rusak serta partai yang tidak lolos threshold. Maka, total anggota DPR yang ada di Senayan menurutnya kurang dari 50 persen dari angka 575 tersebut.
"Artinya itu juga menunjukkan keterwakilan antara persentasi saat ini, salah satu dari hal-hal yang ingin di evaluasi di Partai Gelora sebagai bagian dari usaha pembenahan pada sistem politik kita," katanya.
Perubahan sistem politik dengan penyederhanaan partai, pilpres dan juga pemilu serentak, menurutnya tidak serta merta meningkatkan kualitas demokrasi. Juga tidak menjamin lahirnya pemerintahan yang efektif dan kuat.
Maka pengalaman demokrasi itu, menurutnya harus menjadi pembelajaran penting bagi pemerintah. "Ini salah satu indikator yang menjadi pertimbangan dasar untuk melakukan evaluasi sistem demokrasi saat ini," katanya.
Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia Burhanuddin Muhtadi menjelaskan, memang presidential threshold tidak lazim digunakan di negara yang menganut sistem presidensial. Indonesia adalah sistemnya presidensial.
Karena kata Burhanuddin, justru pembatasan tersebut malah membuat batas bagi orang-orang yang ingin maju. Sementara konstitusi tidak mengatur adanya pembatasan.
"Presidential threshold itu aneh dan tidak lazim di negara lain. Tidak ada pembatasan yang ketat seperti di Indonesia untuk maju sebagai calon presiden. Bahkan di Amerika Serikat calon independent pun bisa maju sebagai calon presiden," ujar Burhanuddin.
Maka menurut dia yang pas adalah syarat calon presiden dengan ambang batas tersebut semestinya dihapus. Tapi untuk partai, diperlukan. Hanya tidak terlalu tinggi.
"Jadi presidential threshold perlu dihapus. Parliamentary threshold diperlukan, tapi jangan terlalu tinggi karena bisa mengurangi pluralisme politik," katanya.
Perkuat Peran Oligarki
Senada dengan itu, Wakil Ketua Partai Gelora Fahri Hamzah menilai aturan saat ini memang mempersempit adanya calon presiden alternatif, di luar dari yang ada selama ini.
Hanya untuk kepentingan kecil yang berada di elit. Tetapi lanjut Fahri, justru mengabaikan keterwakilan rakyat yang ada di banyak daerah untuk bisa memberi peluang bagi calon-calon lainnya.
"Dalam konteks itu, saya melihat sistem pemilu saat ini lebih memperkuat peran oligarki politik sekelompok elit. Namun, mengabaikan keterwakilan rakyat Indonesia dari berbagai daerah," kata Fahri.
PT 20 persen ini juga, digugat ke MK. Salah satunya oleh pakar hukum tata negara Refli Harun. Dalam diskusi itu, ia menilai gugatan mereka agar ambang batas capres nol persen kemungkinan dikabulkan. Itu berkaca pada gugatan UU Cipta Kerja.
"Jadi para hakim konstitusi harus melihat dalil-dalil secara legalitas, bukan keterkaitan atau keterampilan dari komposisi hakim. MK tidak boleh lagi berkelit untuk tidak mengabulkannya, karena ini jauh lebih komprehensif," kata Refly Harun.