AD/ART Demokrat Tak Demokratis Jadi Alasan Eks Ketua DPC Gugat ke MA

Bendera Partai Demokrat
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Nova Wahyudi

VIVA – Para eks ketua DPC Partai Demokrat mengajukan gugatan judicial review ke Mahkamah Agung (MA) dan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), lantaran menilai anggaran dasar dan anggaran rumah tangga atau AD/ART Partai Demokrat tidak demokratis.

KPK Buka-bukaan soal Pemeriksaan Eks Menkumham Yasonna Laoly terkait Kasus Harun Masiku

Hal tersebut diungkapkan mantan Ketua DPC Demokrat Kabupaten Kepulauan Sula, Maluku Utara Adjrin Duwila, di Jakarta, Sabtu, 2 Oktober 2021. Adjrin sendiri adalah salah satu pihak yang melayangkan gugatan ke PTUN dengan nomor 155/G/2021/PTUN.JKT.

"Yang pertama adalah kenapa sehingga kami itu berkeinginan mengajukan gugatan ke PTUN maupun judicial review. Kita lihat dari anggaran dasar anggaran rumah tangga dulu. Anggaran dasar anggaran rumah tangga itu, apa yang menjadi landasan kami melakukan gugatan. Anggaran dasar anggaran rumah tangga kita lihat dari satu proses. Proses terciptanya anggaran dasar anggaran rumah tangga itu tidak demokratis dan tidak sesuai dengan amanah undang-undang (partai). Kenapa demikian, karena anggaran dasar dan anggaran rumah tangga itu tidak dibahas dalam kongres," ujarnya.

Terkuak, Ini Lokasi Suap Tiga Eks Hakim PN Surabaya Terkait Vonis Bebas Ronald Tannur

Baca juga: Bikin Geger, Ini Penampakan Bambu yang Dipakai PUPR Buat Jalan Tol

Karena itu, menurut Adjrin, pihaknya patut menduga pimpinan Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) telah melakukan pembohongan kepada negara melalui Kemenkumham.

Kasus Harun Masiku, Yasonna Laoly Ngaku Dicecar KPK soal Permintaan Fatwa ke MA

"Kenapa saya katakan demikian, salah satu syarat administratif tidak terpenuhi. Apa itu, anggaran dasar anggaran rumah tangga tidak dibahas dalam kongres. Artinya ketika Anda tidak melakukan pembahasan dalam kongres, pastinya tidak ada berita acaranya dong. Kalau tidak ada berita acaranya, kok bisa syaratnya terpenuhi. Itu asumsi logikanya sehingga inilah menjadi dorongan kami," ujarnya.

Adjrin menambahkan, pasal yang mengatur soal majelis partai di dalam AD/ART juga dinilai tidak demokratis. Karena pada salah satu klausulnya menyebutkan calon ketua umum disetujui oleh ketua majelis tinggi.

"Di sini sudah secara nyata mengatakan membatasi, mengekang hak kader untuk dipilih. Kenapa tidak diserahkan saja kepada pemegang hak suara. Kenapa tidak diserahkan saja ke dalam melalui satu proses penjaringan yang benar-benar qualified dan terbuka," ujarnya.

Menyoal mengapa tidak mengajukan gugatan ke mahkamah partai, Adjrin menegaskan, pada salah satu klausul yang mengatur mahkamah partai disebutkan putusan hakim mahkamah partai sifatnya rekomendasi kepada pimpinan partai.

"Ketika sifatnya rekomendasi berarti bisa dilaksanakan, bisa tidak dong. Tapi kalau misalnya sifatnya perintah, berarti tidak bisa, tidak ada pilihan lain. Nah ini dua hal yang secara umum bisa kami gambarkan ketidakdemoktratisasian yang ada dalam partai demokrat itu sendiri," kata Adjrin.

Lebih lanjut, Adjrin menegaskan soal siapa yang "membegal" partai. Berdasarkan sejarah, Partai Demokrat didirikan oleh 99 pendiri partai.

Namun, di dalam mukadimah partai berubah hanya menjadi dua orang yakni Susilo Bambang Yudhoyono dan Vence Rumangkang.

"Apakah ini sebagai suatu bentuk atau keingingan bahwa ingin mengaburkan sejarah partai, wallahu a’lam bishawab. Tapi jika memang itu terjadi, maka sesungguhnya pembegal partai itu adalah Anda yang menyusun ini," imbuhnya.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya