Anggota DPR: Peralihan ke EBT Butuh Waktu

Wakil Ketua Komisi VII DPR Eddy Soeparno.
Sumber :
  • VIVA/ Reza Fajri.

VIVA – Wakil Ketua Komisi VII DPR RI Eddy Soeparno menilai perubahan dari pemanfaatan fosil menjadi energi terbarukan harus melalui proses kerja keras dan konsisten agar kebijakan target "zero carbon" tercapai pada 2060. Penggunaan pembangkit batu bara memang masih diperlukan, kini. 

Ekspor Batu Bara dan Besi-Baja RI Moncer di November 2024, CPO dan Turunannya Anjlok

"Ya untuk saat ini, (peralihan ke EBT) memang membutuhkan waktu, tidak bisa seperti membalikan telapak tangan," kata pimpinan Komisi VII DPR RI itu, Rabu 29 September 2021.

Eddy, di sisi lain mengingatkan, Indonesia juga harus memiliki "road map" energi hijau untuk 30 tahun mendatang, sebagai target zero energy carbon. Yang juga penting adalah  pemerintah juga perlu mendesak negara maju yang menyatakan pelarangan emisi karbon. 

Pimpinan MPR Gandeng Influencer Ajak Anak Muda Peduli Krisis Iklim

Direktur Eksekutif Energi Watch Mamit Setiawan menambahkan, transisi energi menuju terbarukan pasti akan terjadi, mengingat sudah banyak negara berkomitmen untuk menerapkannya. Namun, untuk Indonesia, lanjutnya, saat ini belum bisa menerapkan energi baru terbarukan tersebut. 

“Transisi energi pasti terjadi, tapi sesuaikan kondisi. Kita harus melihat kondisi bahwa kita banyak belum siapnya. Karena masyarakat kita belum siap membeli energi dengan harga mahal,” kata Mamit. 

Gus Miftah Tolak Uang Ceramah Rp75 Juta karena Dianggap Terlalu Murah

Dia menguraikan, kemampuan ekonomi masyarakat terhadap harga BBM dan listrik yang tinggi masih rendah. Belum lagi keuangan negara juga makin terbebani jika harga energi yang tersedia, lebih mahal dari barubara. 

Sekarang, lanjut Mamit, harga energi baru terbarukan masih lebih mahal dibanding harga batu bara. Jika nanti skema tarifnya ditentukan oleh pemerintah, sudah pasti akan membebani PLN dan keuangan negara. 

Dengan alasan-alasan tersebut, kata dia, apabila secara ekonomi belum terpenuhi sebaiknya pemerintah tidak perlu terburu-buru beralih ke EBT. 

“Memang transisi itu akan tetap ada dan terjadi, sehingga bagaimana kita melihat kesiapan menjalankan hal tersebut. Kita harus sabar dan melihat kondisi internal seperti apa. Jangan terburu-burulah, nanti kejadian kaya Inggris. Pembangkit listrik batubara kita dihancurkan, tapi tiba-tiba kekurangan bahan pasokan energi terbarukan,” ujarnya.

Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro mengatakan hal serupa.

“Kalau kita lihat di Amerika Serikat, EBT hanya 12 persen di tahun 2020. Kalau Inggris sudah lama pakai fosil, mereka  sudah 400 tahun pakai batubara, sejak era revolusi industri,” ucap Komaidi.

Pekan ini, krisis energi  melanda Inggris dan beberapa negara Eropa. Ini menyadarkan mereka bahwa m tidak bisa serta merta mengandalkan dan bergantung sepenuhnya kepada energi baru terbarukan. Di saat sama, harga gas meroket 250% karena keterbatasan pasokan di Barat. 

Komaidi  yakin, sejauh ini teknologi batu bara akan tetap menjadi energi yang dominan di pembangkit listrik Indonesia. Ia melihat, pemerintah akan berpikir realistis untuk menggunakan energi yang termurah.  Ia mengatakan, Indonesia perlu berhati-hati menyikapi masalah transisi energi ini. 

Menurutnya, EBT bisa dikembangkan, tapi jika belum bisa kompetitif, jangan dipaksakan.  Ditambahkannya, sekalipun menggunakan batu bara, PLTU baru saat ini sudah pakai teknologi maju. Di antaranya PLTU USC (Ultra Super Critical) yang bisa dihitung biaya produksinya. 

“EBT sebagai pelengkap, bukan pengganti. Kalau diibaratkan makanan di meja, EBT itu ibarat sambal, bukan nasi nya. Hal ini sejalan dengan yang dituangkan Rencana Umum Energi Nasional dimana 2050 konsumsi fosil masih besar, dan EBT hanya 23 persen maksimal,” ujarnya.
  

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya