Novel Cs Dipecat, Wakil Rakyat Bungkam
- ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga
VIVA – 56 pegawai non aktif Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang gagal lolos asesmen tes wawasan kebangsaaan atau TWK akan dipecat mulai 30 September 2021. Suara DPR disorot karena seperti bungkam dan tidak bertaring menyikapi polemik TWK ini.
Hanya segelintir wakil rakyat di Senayan yang mendesak Presiden Joko Widodo harus bersikap dengan merujuk temuan serta rekomendasi Komnas HAM dan Ombudsman RI. Namun, sebagian besar dari mayoritas fraksi di DPR seperti tidak acuh alias cuek.
Pengamat sekaligus pendiri Lingkar Madani Ray Rangkuti menyampaikan sudah menduga DPR tak bernyali dalam kisruh TWK KPK. Ia memprediksi pemecatan 56 pegawai non aktif juga ke depannya tak akan menjadi bahasan DPR dalam rapat dengan KPK.
Dia menyindir DPR bungkam dalam polemik ini karena TWK imbas dari revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Menurut Ray, KPK sekarang sebagai produk desain DPR, bukan rakyat Indonesia.Â
"Keharusan staf KPK menjadi PNS adalah salah satu poin sebabnya. Dan, revisi UU ini merupakan hak inisiatif DPR. Kan lucu, kalau DPR menyikapi sebaliknya terkait polemik ini," kata Ray kepada VIVA, Selasa, 21 September 2021.
Ray mengkritisi elite politisi saat ini memiliki semangat rendah dalam pemberantasan korupsi. Ia bilang cara pandang elite parpol bahwa mereka yang terjerat korupsi merupakan korban bukan subjek yang layak dihukum.Â
"Cara pandang seperti inilah yang membuat DPR bersikukuh melakukan revisi UU KPK sekalipun ditolak banyak warga negara," sebut Ray.
Pun, ia menyindir alumni aktivis 1998 yang saat ini berada di parpol dan parlemen Senayan namun tak ada suara kritisnya. "Pemberantasan korupsi adalah poin penting dari amanah reformasi. Jadi diamnya mereka terasa sangat memilukan," tutur Ray.
Kritikan keras juga disampaikan Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Feri Amsari. Ia menyoroti Presiden Jokowi selaku eksekutif dan DPR sebagai legislatif yang seperti tak ada solusi dalam pemecatan Novel Cs.
Dia menyebut Jokowi seperti melupakan temuan Komnas HAM dan Ombudsman bahwa ada pelanggaran dalam TWK KPK. Selain cacat prosedural, temuan lain dalam TWK KPK ada pelanggaran hak asasi manusia atau HAM.
"Boleh saja sebuah lembaga berwenang terhadap sesuatu tapi tidak boleh dalam penyelenggaraannya mengalami cacat prosedural apalagi melanggar hak asasi manusia," kata Feri kepada VIVA, Selasa, 21 September 2021.
Feri juga bingung dengan respons Jokowi yang seolah lepas tangan. Begitu pun parpol di parlemen yang sudah jadi bagian dari pendukung pemerintah. Menurutnya, dengan kondisi tersebut, mestinya jadi momen bagi parpol barisan oposisi.
"Mestinya bagi partai-partai oposisi ini jadi dasar untuk kemudian mengajukan presiden telah melakukan pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Apalagi pelanggaran hak asasi manusia merupakan tindak pidana  berat lainnya yang diatur dalam UUD," jelas Feri.
Suara DPR
Disorot tak bertaring dan bungkam, Anggota DPR dari Fraksi PKS, Mardani Ali Sera menyampaikan tanggapannya. Ia menekankan selama ini, PKS juga sudah concern terhadap isu TWK yang berujung pemecatan terhadap Novel dan 55 pegawai lainnya.
Namun, PKS di DPR hanya memiliki kekuatan kecil yaitu 50 kursi dari total 575 kursi di parlemen Senayan. Kekuatan 50 kursi dirasa sulit mengingat suara mayoritas yang tak mempersoalkan TWK KPK.
Mardani hanya bilang keputusan pemecatan itu sebagai hari kelam bagi pemberantasan korupsi di Tanah Air.
"Hari yang kelam, ketika 50 lebih pegawai KPK akan dipecat. Ini harus kita catat sebagai hari kelam pemberantasan korupsi di Indonesia," tutur Mardani.
Meski demikian, ia berharap di sisa waktu kurang dari 9 hari ini masih ada celah untuk memperjuangkan dukungan Komnas HAM dan Ombudsman. Pun, Jokowi diminta bersikap agar pemecatan Novel dan kawan-kawan dibatalkan.
"Dukung keputusan Komnas HAM dan Ombudsman serta kebijakan Pak Jokowi tidak ada pemecatan," sebut Mardani.
Suara berbeda disampaikan dengan Anggota DPR dari Fraksi PDIP, Junimart Girsang. Ia menyebut TWK sudah sesuai UU karena merujuk perintah UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN) dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 11 Tahun 2017 tentang manajemen ASN.Â
Lalu, ia juga menyampaikan ada PP Nomor 41 Tahun 2020 tentang syarat ahli pegawai KPK menjadi ASN. "Masalah TWK sudah clear. Itu kan perintah UU yang harus dijalankan. Ini yang harus kita pahami," ujar Junimart.
Dia menambahkan Komisi II DPR juga sudah membahas alih status pegawai KPK menjadi ASN melalui proses TWK. Pembahasan itu bersama KemenPAN-RB dan Badan Kepegawaian Negara (BKN).
Begitu pun diutarakan Anggota DPR lain dari Fraksi PDIP, Cornelis. Dia meminta TWK sebagai syarat menjadi birokrasi sudah menjadi perintah UU sehingga mesti dipatuhi.
Menurutnya, pegawai KPK yang menjadi ASN punya tanggungjawab besar. Apalagi KPK merupakan lembaga penegak hukum.
"Itu penting karena jadi birokrasi sipil dan militer di negara mana pun, harus taat dan patuh terhadap negara," ujar Cornelis.Â