Jadwal Pemilu Tak Bisa Diundur, Apalagi Karena Pilkada
- ANTARA FOTO/Wahyu Putro A
VIVA – Sekretaris Jenderal Dewan Pimpinan Nasional Partai Keadilan dan Persatuan (PKP) Said Salahudin mengatakan, jadwal pemilu pada 2024 mendatang tidak bisa diubah-ubah. Apalagi dengan alasan bersamaan dengan pilkada. Jika terjadi perubahan, menurut Said bisa berpotensi inkonstitusional.
Maka dari itu, ia mengingatkan DPR, pemerintah, KPU hingga Bawaslu untuk berhati-hati dalam menetapkan jadwal pemilu. Karena Pasal 22E ayat (1) UUD 1945 berbunyi, “Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali”.
"Frasa 'lima tahun' itu kan mudah sekali menghitungnya, yaitu 12 bulan dikali 5 (lima). Kalau di tahun 2019 Pemilu dilaksanakan di bulan April, maka 60 bulan berikutnya jatuh di bulan April 2024," kata Said Salahudin dalam keterangannya yang diterima VIVA, Senin 20 September 2021.
Maka ketika UUD 1945 sudah menetapkan itu, menurutnya semua harus konsisten pada konstitusi melaksanakan agenda pemilu lima tahunan. Meski dalam keadaan tertentu yang bersifat ‘force majeure’, seperti bencana alam atau bencana non alam yang terjadi di seluruh Indonesia, bisa dijadikan pijakan untuk memajukan atau mengundurkan pelaksanaan pemilu.
"Tetapi kalau alasannya hanya karena ada Pilkada Serentak 2024, itu jelas tidak masuk akal. Sebab, jadwal Pilkada Serentak Nasional di bulan November 2024 hanya diatur di level undang-undang," lanjut dia.
Levelnya jelas Said, sudah berbeda. Karena pemilu diatur oleh UUD 1945, tidak bisa diubah hanya karena ada turan undang-undang yang levelnya berada di bawah UUD 1945.
"Jadi, bisa muncul permasalahan hukum yang serius jika jadwal Pemilu yang diatur dalam UUD 1945 dikalahkan oleh jadwal pilkada yang hanya diatur di level undang-undang," katanya.
Maka yang harus diatur oleh pemerintah, menurutnya adalah jadwal pilkada. Bukan jadwal pemilu yang itu sudah diatur oleh konstitusi, yang hirarki hukumnya lebih tinggi. Mengundurkan pilkada bisa dilakukan oleh DPR dan pemerintah dengan mengubah UU yang berlaku.
"Atau cukup dengan penerbitan Peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perppu) oleh Presiden dalam hal ada unsur kegentingan yang memaksa disana," katanya.
Sebab, lanjut dia, kalau pemilu tidak dilaksanakan lima tahun sekali, maka MPR harus bersidang untuk melakukan amendemen Pasal 22E ayat (1) UUD 1945.