Fadli Zon Kritik Kartu Prakerja Cacat dan Layak Disetop, Ini Alasannya

VIVA – Program Kartu Prakerja yang diinisiasi pemerintah untuk membantu penanganan Corona Covid-19 terus disorot. Kartu Prakerja dinilai cacat dan meleset dari tujuan.

Tiga Warisan Budaya Takbenda RI Masuk UNESCO, Fadli Zon: Fondasi Identitas Bangsa

Wakil Ketua Umum DPP Gerindra Fadli Zon menyebut pemerintah dalam program ini hanya sedang mempertebal kantong sejumlah perusahaan aplikasi digital. Kata dia, setidaknya ada beberapa alasan program ini dianggap cacat dan sebaikya disetop.

"Program ini tak relevan mengatasi dampak Covid-19. Program Kartu Prakerja tidak menjawab krisis yang tengah dihadapi," kata Fadli, dalam keterangannya, Senin, 4 Mei 2020.

Fadli Zon: Indonesia Laboratorium Alami yang Mencerminkan Perjalanan Evolusi Manusia

Fadli menjelaskan alasan tersebut karena target peserta program ini seperti korban pemutusan hubungan kerja (PHK) dianggapnya lebih membutuhkan bantuan langsung tunai (BLT) daripada pelatihan online. 

Menurutnya, program ini hanya mengaitkan dengan janji kampanye Jokowi saat Pilpres 2019. Namun, tak relevan memaksakan program tersebut di tengah krisis karena pandemi Corona Covid-19.

Impor Ilegal Dituding Jadi Biang Kerok PHK Ratusan Ribu Buruh Tekstil, Wamenaker Buka Suara

"Lagi pula, mau usaha apa, atau kerja di mana, wong hampir semua perusahaan, termasuk sektor informal, saat ini semuanya tutup? BLT lebih dibutuhkan untuk menyambung hidup di tengah Covid-19," tutur Fadli.

Pun, ia mengkritisi skema programnya yang tidak masuk akal dan bermasalah. Sebab, skema dilakukan sesudah terjadi pandemi Corona. Kata dia, pemerintah sudah mengubah tujuan program Kartu Prakerja untuk membantu masyarakat terdampak wabah. 

"Kalau mau bantu masyarakat terdampak, seharusnya dilakukan melalui BLT saja, tak perlu melibatkan pelatihan. Ini untuk menjaga agar anggaran Kartu Prakerja bisa utuh seratus persen sampai ke masyarakat, tidak terpotong oleh mitra penyedia jasa pelatihan," jelas Anggota Komisi I DPR itu.

Dia menyoroti anggaran Rp5,6 triliun yang masuk ke kantong perusahaan platform digital itu mencapai 28 persen dari keseluruhan anggaran Kartu Prakerja. Menurutnya, ada maladministrasi dari program ini.

"Kalaupun Pemerintah tetap ngotot mau bikin pelatihan, karena materi pelatihan itu dianggap penting, apa masuk akal biaya pelatihan online menyedot anggaran hingga Rp5,6 triliun? Jangan lupa, duit sebesar itu habis hanya untuk membeli video tutorial," tuturnya.

Dia membandingkan Kartu Prakerja dengan anggaran TVRI dan RRI dalam APBN 2020 yang masing-masing hanya Rp1,2 triliun dan Rp1,3 triliun. Ia mengibaratkan jika program pelatihan keterampilan kewirausahaan dalam Kartu Prakerja diberikan ke TVRI dan RRI untuk memproduksi maka hasilnya akan berbeda dan lebih bermanfaat.

"Saya kira bukan hanya 5,6 juta target Kartu Prakerja saja yang bisa menontonnya, tapi juga 270 juta masyarakat Indonesia. Bahkan, mereka tak perlu beli pulsa, kuota, atau memiliki ponsel Android untuk bisa mengakses," ujarnya.

Kemudian, menyangkut validasi data lemah dalam penerima bantuan Kartu Prakerja yang tak jelas kriteria dan parameternya. Ia heran karena dalam program ini semua orang bisa mendaftar dan semuanya bisa mengaku berhak menerima bantuan. S

"Seleksi juga bersifat random saja, tidak melibatkan verifikasi data atau sejenisnya. Menurut saya, penggunaan anggaran negara seharusnya tidak boleh gegabah seperti itu. Potensi penyelewengan jadi besar sekali," tuturnya.

Lalu, ia mempertanyakan mitra Kartu Prakerja dalam pelatihan kerja yang tak kompeten. Contohnya pelatihan serta sertifikasi jurnalistik sampai pelatihan mancing oleh perusahaan mitra.

"Bagaimana bisa peserta ditawari pelatihan mancing oleh perusahaan mitra? Apalagi, semua materi yang ditawarkan hanyalah tutorial dasar, yang bisa dicari gratis di internet atau ditonton di Youtube. Itu menunjukkan inkompetensi mitra yang ditunjuk," katanya.

Dia khawatir jika tak dihentikan maka program ini akan menjadi persoalan hukum dan politik di kemudian hari. Menurutnya, di tengah pandemi ini, Pemerintah harus memperluas pemberian BLT. Apalagi merujuk data KADIN, jumlah korban PHK saat ini bisa mencapai 15 juta orang.

"Saya kira program Kartu Prakerja ini sebaiknya dihentikan. Sesudah gelombang keempat, seharusnya Pemerintah mengevaluasi besar-besaran program ini dan mengalihkannya jadi sepenuhnya program BLT," sebutnya.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya