RUU Ciptaker Dinilai Positif untuk Ekonomi dengan Catatan Kritis

Ilustrasi kalangan buruh menolak Omnibus Law RUU Cipta Kerja
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Asep Fathulrahman

VIVA – Panja DPR masih membahas Omnibus Law Rancangan Undang-undang (RUU) Cipta Kerja (Ciptaker). The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research (TII) mengatakan bahwa, Omnibus Law RUU Cipta Kerja memiliki potensi positif untuk ekonomi, namun TII juga menggarisbawahi banyaknya catatan kritis yang harus dibahas sebelum meloloskan RUU ini. 

Hadiri Pertemuan dengan Menko Airlangga, Sekjen OECD: Keanggotaan Indonesia pada OECD Mendukung Visi Indonesia Emas 2045

“RUU Cipta Kerja sendiri sejak awal memang tidak lepas dari kebutuhan untuk memenuhi target Pemerintah dalam meningkatkan investasi dan mendukung kemudahan berusaha di Indonesia,” kata Direktur Eksekutif TII, Adinda Tenriangke Muchtar, melalui keterangan tertulisnya, Kamis 23 April 2020.

Ia menambahkan, salah satu permasalahan yang menghambat investasi dan kemudahan berusaha adalah regulasi yang gemuk dan tumpang tindih. Sehingga itu menambah beban biaya dan waktu, serta mempersulit upaya pembukaan kesempatan lapangan kerja yang lebih luas. 

Manfaatkan Investasi Hasil Kunjungan Kerja ke Berbagai Negara, Pemerintah Kejar Pembangunan KEK dan PSN

Selain itu, pasar tenaga kerja yang dipersepsikan tidak terlalu fleksibel juga ikut menghambat investasi di Indonesia dan mempengaruhi daya saing Indonesia. 

Dalam studi kualitatif awal TII mengenai Omnibus Law RUU Cipta Kerja ini, TII mencatat bahwa, data pertumbuhan ekonomi menunjukkan selama lima tahun terakhir ini Indonesia memasuki kecepatan tumbuh 5 persen per tahun. 

Siapkan Investasi Rp 267 Triliun hingga 2029, MIND ID Kerek Target Pendapatan Tahunan

“Besaran ini memang sudah cukup untuk menempatkan Indonesia di posisi kedua kelompok negara-negara G20. Namun, tetap ada aspirasi agar Indonesia tumbuh lebih cepat untuk keluar dari jebakan negara berpendapatan menengah,” ujarnya.

Perhitungan kasar menunjukkan bahwa untuk tumbuh dalam kisaran 5,3 sampai 5,5 persen saja diperlukan pertumbuhan investasi antara 8 sampai 9 persen. Sementara, untuk pertumbuhan yang lebih tinggi dari itu diperlukan pertumbuhan investasi di atas 10 persen (double digit). 

Namun, faktanya saat ini pertumbuhan investasi dalam kurun waktu 2015-2019 tidak pernah lebih dari 7,94 persen per tahun. Salah satu penyebab tersendatnya pertumbuhan investasi tidak bisa bergerak naik adalah indikator daya saing Indonesia. Global Competitiveness Report/GCR 2019) besutan World Economic Forum (WEF) mencatat bahwa peringkat daya saing Indonesia menurun dari posisi 45 ke-50. 

Prosedur perizinan di Indonesia dinilai berbelit-belit. Hal ini salah satunya tercermin dari waktu untuk memulai bisnis yang menduduki peringkat ke-103. Biaya untuk memulai usaha yang mendapatkan skor di peringkat ke-67.

Secara teoretis, daya saing dan investasi menunjukkan hubungan yang positif. Artinya, ketika daya saing suatu negara mengalami kenaikan, maka investasi di negara tersebut juga akan meningkat. 

“Oleh sebab itu, dibutuhkan sebuah terobosan yang mampu mengkonfigurasi ulang hambatan-hambatan tersebut.  Salah satunya melalui undang-undang sapu jagat Omnibus Law,” jelasnya.

Menurutnya Omnibus Law RUU Cipta Kerja, bukan hanya mengatur tentang ketentuan investasi dan kemudahan berusaha. Salah satu RUU Omnibus Law ini juga mengatur hal-hal lain, termasuk ketenagakerjaan, lingkungan, industri pertambangan, pengelolaan wilayah pesisir dan kepulauan, Badan Usaha Milik Desa, serta Usaha Mikro Kecil dan Menengah. 

Dalam hal ini, TII mengatakan bahwa RUU Cipta Kerja juga didorong untuk menciptakan perluasan kesempatan kerja dan pemberdayaan ekonomi, melalui kemudahan berusaha dan proses perizinan yang mudah, serta difasilitasi pemerintah. 

“TII menilai bahwa Omnibus Law RUU Cipta Kerja sebagai kebijakan berpotensi positif bagi kebebasan ekonomi, pertumbuhan ekonomi dan pembangunan, serta kesejahteraan di Indonesia. Namun, sejak awal, proses pembuatan RUU Cipta Kerja sudah mengundang polemik, dari prosesnya yang dinilai tidak inklusif, tidak transparan, terburu-buru, hingga banyak ketentuan yang diatur di dalamnya dinilai mengabaikan aspek perlindungan HAM, demokrasi, penegakan hukum, dan mengancam keberlangsungan lingkungan hidup,” paparnya. 

TII menegaskan, pentingnya mengkritisi RUU ini mengingat aspek ekonomi juga berdampak terhadap aspek lainnya. Selain itu, pembangunan yang berkelanjutan dan mendukung kebebasan ekonomi tidak akan dapat berjalan baik dan berdampak positif, jika tidak memperhatikan pemangku kepentingan, konteks, serta dampak di aspek lainnya, termasuk aspek perlindungan HAM dan hukum, demokrasi, sosial, maupun lingkungan hidup. 

Harus diakui bahwa Omnibus Law RUU Cipta Kerja masih memuat banyak ketentuan yang kontroversial dan justru ikut menghambat tujuannya karena proses pembuatannya yang sejak awal bermasalah.

Sebut saja ketentuan mengenai Pasal 93 RUU Cipta Kerja yang tidak memberi penjelasan rinci mengenai kata berhalangan terkait ketentuan tentang pemberian upah bagi buruh yang tidak masuk kerja karena berhalangan. 

TII mendesak agar semua catatan kritis dari beragam pihak harus dipertimbangkan dan dijadikan masukan dalam proses pembahasan RUU Cipta Kerja kedepan. Di tengah krisis pandemi Covid-19 dan kritik publik terhadap Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) yang bersikukuh untuk terus melanjutkan pembahasan RUU ini, para pembuat kebijakan dituntut untuk membuktikan bahwa RUU Cipta Kerja tetap diproses sesuai dengan prinsip-prinsip tata kelola pemerintahan yang baik. 

“Dengan demikian, proses kebijakan yang inklusif, partisipatif, transparan, dan akuntabel, serta masukan dari berbagai pihak, menjadi hal yang sangat penting untuk memastikan agar RUU Cipta Kerja ini juga dalam prosesnya sejalan dengan asas penyelenggaraan yang termaktub dalam ketentuannya, serta relevan dengan dan memenuhi kepentingan dan kebutuhan beragam pihak, bukan hanya aspek ekonomi semata,” katanya. 

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya