Bung Karno Soal Supersemar: Mereka Bertampik Sorak-sorai Kesenangan

Patung Presiden pertama RI, Ir Soekarno di Semarang, Jawa Tengah. (Foto ilustrasi).
Sumber :
  • VIVA.co.id/ Dwi Royanto (Semarang)

VIVAnews - Proses peralihan kekuasaan antara Presiden Soekarno alias Bung Karno dengan Jenderal Soeharto pada 1965-1966 masih menjadi kontroversi hingga zaman now. Salah satu yang menjadi pro dan kontra adalah soal Surat Perintah 11 Maret 1966 (SP 11 Maret) atau yang lebih dikenal sebagai Supersemar.

Kisah Jenderal TNI Asal Bugis Gebrak Meja di Hadapan Soeharto

Sejumlah pihak dan khususnya para pendukung Bung Karno menganggap Soeharto sudah mengkhianati Pemimpin Besar Revolusi tersebut. Karena, memanfaatkan surat perintah itu untuk mulai mengambil alih kekuasaan dan melakukan "kudeta merangkak" alias kudeta secara bertahap.

Tindakan Soeharto yang berdampak besar adalah membubarkan Partai Komunis Indonesia (PKI), salah satu partai pendukung Soekarno pada era Demokrasi Terpimpin. PKI dituduh sebagai dalang peristiwa Gerakan 30 September atau G30S/1965, atau juga disebut sebagai Gerakan 1 Oktober (Gestok) yang menewaskan sejumlah jenderal senior, pemimpin teras Angkatan Darat ketika itu.

Keberanian Timnas Indonesia Zaman Bung Karno, Lepas Tiket Piala Dunia Gegara Tolak Israel

Bung Karno sempat menyampaikan pernyataan resminya atas tindakan Soeharto dalam konteks pelaksanaan Supersemar tersebut, yaitu pada pidato hari kemerdekaan 17 Agustus 1966.

"Mula-mula, dan memang sejurus waktu membuat mereka bertampik sorak-sorai kesenangan. Dikiranya SP 11 Maret adalah suatu penyerahan pemerintahan. Dikiranya SP 11 Maret itu suatu transfer of sovereignity, (transfer) of authority, padahal tidak," kata Bung Karno dengan suara khasnya yang lantang.

Prabowo Bidik Ekonomi RI Tumbuh 8 Persen, Airlangga Ungkap Indonesia Pernah Zaman Soeharto

"SP 11 Maret adalah satu perintah pengamanan, perintah pengamanan jalannya pemerintahan. Pengamanan jalannya ini pemerintahan. Demikian kataku waktu melantik kabinet. Kecuali itu, juga perintah pengamanan keselamatan pribadi presiden, perintah pengamanan wibawa presiden. Perintah pengamanan ajaran presiden. Perintah pengamanan beberapa hal. Dan Jenderal Soeharto telah mengerjakan perintah itu dengan baik. Saya mengucap terima kasih pada Jenderal Soeharto atas hal ini," lanjut Bung Karno.

Selanjutnya, Bung Karno mengingatkan intisari atau pokok mandat yang dia terima dari MPRS adalah membangun bangsa, nation building, dari kemerosotan zaman kolonial untuk dijadikan satu bangsa yang berjiwa, yang dapat dan mampu menghadapi semua tantangan. Suatu bangsa yang merdeka dalam abad ke-20.

"Sesungguhnya toh, bahwa membangun satu negara, membangun ekonomi, membangun teknik, membangun pertahanan, adalah pertama-tama dan tahap utamanya membangun jiwa bangsa. Bukankah demikian? Sekali lagi, bukankah demikian?" kata Bung Karno.

"Tentu saja keahlian adalah perlu. Tetapi keahlian saja tanpa dilandaskan pada jiwa yang besar tidak akan dapat mungkin mencapai tujuannya. Inilah perlunya. Sekali lagi, mutlak perlunya, nation and character building," lanjut Proklamator RI yang juga dikenal sebagai Putra Sang Fajar tersebut.

Bung Karno menambahkan bahwa bangsa Indonesia dan dia sendiri mengutuk Gestok. Dia mengatakan yang bersalah harus dihukum. Untuk itu, ia membangunkan Mahmilub.

Bung Karno lantas mempertanyakan kenapa setelah terjadi Gestok, bangsa Indonesia berubah haluan. Dia menegaskan bahwa ajarannya seperti Pancasila, Panca Azimat, Trisakti, harus dipertahankan terus.

Namun, sejarah pada akhirnya mencatat bahwa Bung Karno lengser, dan digantikan oleh Jenderal Soeharto, mantan Pangkostrad, kemudian Menteri/Panglima Angkatan Darat pengganti almarhum Jenderal Ahmad Yani. Beberapa tahun kemudian, tepatnya pada 21 Juni 1970, Sang Penyambung Lidah Rakyat Indonesia itu menghembuskan nafas terakhirnya dengan status sebagai tahanan rumah di Wisma Yaso, Jakarta.

>
Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya