Demokrat Kritik Proyek Omnibus Law: Ngeri Memang, Kelasnya Super Power
- ANTARA FOTO
VIVA – Proyek Omnibus Law yang diinisiasi pemerintah menjadi polemik dan menuai penolakan. Salah satu yang mencuat terkait Omnibus Law RUU Cipta Kerja dengan kontroversi Pasal 170 karena Presiden bisa mengubah UU dengan Peraturan Pemerintah (PP).
Ketua DPP Demokrat Jansen Sitindaon ikut menyoroti kontroversi ini. Ia mengkritik ucapan pejabat Menko Polhukam Mahfud MD sampai Menkumham Yasonna Laoly yang menyebut ada salah ketik.
Jansen tak habis pikir dalih pejabat pemerintah karena salah ketik. Padahal, cantuman kalimat dalam Pasal 170 runut dan sistematis. Hal ini yang menurutnya menjadi janggal jika disebut salah ketik.
"Seperti bodoh aja semua orang se-Indonesia ini. Mana ada ceritanya salah ketik sampai 1 Pasal 3 ayat. Kalau tadi 1 kata, okelah. Isi dr Ayat 1 sampai 3 sistematis lagi saling berkaitan. Akui sajalah sejak awal niat kalian ya maunya seperti bunyi Pasal 170 ini. Biar bisa suka," demikian Jansen dalam cuitannya di akun Twitter @jansen_jsp dikutip Rabu, 19 Februari 2020.
Dia menambahkan, untuk RUU Cipta Kerja Bab XIII Pasal 170 ayat 3 dinilai salah proses. Sebab, pemerintah hanya berkomunikasi dengan lima pimpinan DPR saja. Cara ini dinilai keliru dan terkesan menyepelekan partai politik yang tak punya representasi pimpinan DPR.
"Kacau Pasal 170 ayat 3 ini. Mentang-mentang 5 pimpinan DPR hari ini semua koalisi pemerintah jd cukup konsultasi dengan mereka saja. "Busuk" kalau gitu niatnya dan melecehkan partai-partai yg tdk punya wakil di pimpinan @DPR_RI. Pendapat di DPR itu disampaikan atas nama fraksi masing-masing partai," tambah Jansen dalam cuitannya.
Jansen pun coba menelaah RUU Cipta Kerja ini secara perlahan. Ia tak menampik memang ada kerancuan dalam proyek UU tersebut. Ia khawatir isinya UU ini nanti akan membuat regulasi bertabrakan dan menghapus pasal di puluhan UU lain.
"Sejak semalam saya coba mulai baca Omnibus ini. Ngeri memang UU ini. Kelasnya "SUPER POWER". Karena isinya kalau tidak membuat peraturan baru pasti mengubah, menghapus pasal-pasal di UU yg lain. Merevisi satu UU saja harus hati-hati, ini sekali jalan mau "merevisi" sekaligus puluhan UU,” kata Jansen.
Kemudian, ia mengkritisi dengan mengibaratkan Omnibus Law semestinya sebagai bus yang bisa mengantar seluruh penumpang dengan selamat. Tapi, penumpang yang baru selamat itu baru kalangan pengusaha.
"Di mana-mana, bus yang benar itu selalu ngantarkan semua penumpangnya dengan baik dan selamat. Tapi omniBUS yang ini, penumpang yang dipastikan selamat itu baru pengusaha. Penumpang lain seperti Buruh, Lingkungan bahkan Pemda, dll semua ketar ketir. Teruslah bersuara sampai semua selamat!" demikian tulis Jansen.
Pemerintah sebelumnya mengakui, ada kesalahan dalam draft RUU Omnibus Law Cipta Kerja, yang sudah diserahkan ke DPR. Kesalahan itu dianggap bisa diperbaiki secara langsung.
Menko Polhukam Mahfud MD menyebut ada kekeliruan dalam Pasal 170 Omnibus Law RUU Cipta Kerja. Kata dia, kekeliruan itu karena salah ketik.
"Ya, salah ketik sebenarnya, artinya harus diakui keliru," kata Mahfud, di Istana Kepresidenan Jakarta, Selasa 18 Februari 2020.
Dalam pasal tersebut menyebutkan, pemerintah pusat dapat mengubah uu ini jika ada sesuatu yang belum dilakukan perubahan. Padahal, perubahan itu harus melalui DPR dan pemerintah tidak bisa langsung mengubah.
Mahfud mengakui, bahwa perubahan undang-undang tidak bisa dilakukan hanya dengan menerbitkan peraturan pemerintah (PP), seperti yang tercantum dalam pasal tersebut
Terkait Omnibus Law Cipta Kerja, sejumlah kalangan dari buruh pekerja sampai mahasiswa sudah menyuarakan penolakannya. Seringkali buruh turun ke jalan dan menemui DPR agar suara penolakan direspons. Omnibus Law Cipta Kerja dinilai hanya memihak pengusaha saja dan mengebiri hak-hak buruh.
>