Polemik Surat PDIP ke KPU soal PAW Harun Masiku

Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU), Pramono Ubaid.
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Dhemas Reviyanto

VIVA – Anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU), Pramono Ubeid menjelaskan duduk perkara permohonan penetapan caleg PDIP Harun Masiku sebagai anggota DPR RI periode 2019-2024, menggantikan calon terpilih Nazarudin Kiemas yang meninggal dunia pada 26 Maret 2019.

Pramono mengatakan dalam persoalan ini ada dua peristiwa hukum yang berbeda walau dalam konteks yang sama. Yakni, soal penetapan calon terpilih, dan proses pergantian antarwaktu (PAW).

KPK Kemungkinan Periksa Megawati soal Kasus Harun Masiku, Elite PDIP Tegas Bilang Begini

Ia merinci, pada 5 Agustus 2019, PDIP menyampaikan surat ke KPU yang isinya menyampaikan hasil putusan Mahkamah Agung (MA) atas uji materi PKPU Nomor 3 dan 4 Tahun 2019. PKPU (3) 2019 mengatur soal pemungutan dan penghitungan suara. Dan, PKPU (4) 2019 mengatur soal rekapitulasi dan penetapan hasil.

Dalam putusan uji materi PKPU yang diajukan PDIP ke MA, pada substansinya, kata Pramono, MA tidak mengabulkan permohonan.

Habiburokhman: Sampai Kiamat Tidak Selesai Perdebatkan Penetapan Tersangka Hasto, Hormati KPK

Adapun isi putusan MA Nomor 57/P/2019 atas uji materi PKPU adalah:

'Bahwa tuntutan keempat kepada termohon (KPU), untuk menetapkan calon anggota legislatif terpilih untuk menduduki anggota DPR RI terpilih periode 2019-2024 adalah calon anggota legislatif yang ditentukan partai politik pengusung sebagai pengganti calon anggota legislatif yang meninggal dunia dan memperoleh suara terbanyak bukan ranah pengujian hak uji material oleh Mahkamah Agung, oleh karena itu terhadap tuntutan ini dinyatakan tidak dapat diterima'

"Jadi itu jelas sekali bunyi putusan Mahkamah Agung Nomor 57/P/2019 itu. Makanya ketika partai tanggal 5 Agustus mengajukan surat ke KPU, maka dengan mudah tanggal 26 (Agustus) jelas substansinya saja sudah tidak memenuhi syarat," kata Pramono di ILC tvOne, Selasa malam, 14 Januari 2020.

Kasus Harun Masiku, KPK Gali Peran Eks Caleg PDIP Dapil Kalbar Maria Lestari

Ditambah lagi, Pasal 426 ayat 3 UU Pemilu sudah menjelaskan ketentuan penggantian calon terpilih. Yang pada pokoknya menyatakan kalau ada calon terpilih meninggal dunia, mengundurkan diri dan seterusnya, maka penggantinya adalah peraih suara terbanyak berikutnya.

"Itu jelas sekali, dari partai yang sama dapil yang sama. Maka surat dari partai tersebut tanggal 5 Agustus dijawab (KPU) tanggal 26 Agustus tidak dapat diterima.Ini konteksnya penetapan calon terpilih," ujarnya.

Nah, pada 31 Agustus 2019, KPU menggelar rapat pleno penetapan calon terpilih DPR/DPD RI yang mendapatkan kursi di parlemen. Dalam hal pengganti Nazarudin Kiemas, caleg PDIP dari Sumatera Selatan yang meninggal dunia, digantikan oleh calon yang memiliki perolehan suara terbanyak berikutnya, dari partai dan dapil yang sama.

"Sebagaimana diketahui yang ditetapkan KPU adalah Reizky Aprilia. Karena sudah dilantik sebenarnya case closed," ungkap Pramono.

Selanjutnya, pada 27 September 2019, PDIP meminta fatwa MA berdasarkan penolakan KPU atas pelantikan Harun Masiku sebagai anggota DPR menggantikan Nazarudin Kiemas. Ihwal surat minta fatwa PDIP ke MA, Pramono menerangkan KPU hanya ditembuskan sehingga KPU tidak membalas surat PDIP.

Kemudian, pada 6 Desember 2019, PDIP kembali menyurati KPU, yang isinya jelas-jelas meminta pergantian antarwaktu anggota DPR Reizky Aprilia dengan Harun Masiku. Surat PDIP itu baru diterima KPU 18 Desember 2019.

Menurut Pramono, persoalan PAW diatur dalam Pasal 242 ayat 1 UU MD3. Konstruksinya pun persis dengan UU Pemilu menyangkut penggantian calon terpilih. UU MD3 juga menyebut kalau ada anggota yang meninnggal dunia, mengundurkan diri atau lainnya, maka penggantinya adalah yang memperoleh suara terbanyak berikutnya, dari partai dan dapil yang sama.

Disamping itu, secara prosedur partai politik tidak bisa mengurus PAW anggota DPR dengan langsung berhubungan ke KPU. Karena urusan PAW, terang Pramono, partai mestinya melaporkan dulu ke pimpinan dewan, dan dewan akan mengirimkan surat ke KPU. Lalu, KPU mengecek daftar calon tetap (DCT) dan rekapitulasi hasil pemilu sebelumnya, siapa yang memperoleh suara terbanyak berikutnya. 

"Jadi sifatnya KPU hanya mengecek siapa perolehan suara terbanyak berikutnya. Nah, prosedurnya mengurus PAW, KPU tidak berhubungan sama partai tapi dengan pimpinan dewan, jadi secara prosedur tidak tepat," ungkapnya.

Namun demikian, surat PDIP soal PAW Harun Masiku yang diterima KPU pada 18 Desember 2019, dibahas dalam rapat pleno KPU yang digelar 6 Januari 2020 lalu. Rapat pleno yang dihadiri enam komisioner KPU, keputusannya pun bulat tidak dapat mengabulkan permohonan PDIP. Karena sesuai ketentuan UU MD3, yang berhak menjadi PAW adalah caleg dengan perolehan suara kedua terbanyak, yakni Reizky Aprilia.

"Harun Masiku itu nomor 5 (perolehan suara). Kami tidak mungkin mengabulkan karena menyalahi UU MD3," tegasnya

Dalam kasus ini, Pramono mengakui banyak suara sumbang yang menyebut KPU telah 'memperkosa' suara rakyat dengan mengabulkan PAW Harun Masiku. Ia menegaskan bahwa KPU tidak pernah mengabulkan permohonan PDIP untuk menetapkan Harun Masiku sebagai PAW anggota DPR RI.

"Hingga saat ini Reizky Aprilia masih duduk sebagai anggota DPR RI. Secara kolektif kolegial KPU tidak pernah mengabulkan permohonan tersebut," ujar Pramono.

Sebelumnya, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Komisioner KPU, Wahyu Setiawan sebagai tersangka, terkait dugaan penerimaan suap dalam proses penetapan penggantian antarwaktu anggota DPR RI periode 2019-2024.

Dalam kasus ini, Wahyu Setiawan diduga meminta uang sebesar Rp900 juta kepada Harun Masiku, agar ditetapkan oleh KPU menjadi anggota DPR RI pengganti antarwaktu menggantikan caleg yang meninggal, Nazaruddin Kiemas.

Wakil Ketua KPK, Lili Pintauli Siregar menjelaskan, penyelidiknya tengah mendalami siapa sumber dana dalam kasus suap ini. Jika ditemukan mengarah kepada Sekjen PDI Perjuangan, Hasto Kristiyanto, katanya, akan dipanggil.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya