Tolak Presiden Dipilih MPR, Demokrat: Bandul Demokrasi Mau Digeser

Warga memasukkan surat suara saat simulasi pemilihan umum (Pemilu) 2019 di KPU Provinsi Jabar, Bandung, Jawa Barat, Selasa, 2 April 2019.
Sumber :
  • ANTARA FOTO/M Agung Rajasa

VIVA – Ketua DPP Demokrat, Didik Mukrianto menanggapi usulan pemilu tidak langsung. Ia menilai hal ini bisa membuka ruang yang sangat terbuka tumbuh suburnya oligarki demokrasi. 

Pemberlakuan pemilu tidak langsung, baik pemilu presiden maupun pemilu gubernur/bupati/wali kota, bukan hanya bisa merampas hak dan kedaulatan rakyat dalam memilih pemimpinnya secara langsung. Wacana itu juga bisa mempersempit kesempatan rakyat untuk ikut berkompetisi dan dipilih menjadi pemimpin secara sehat dan fair.

Dengan alasan apa pun, tidak seharusnya para elite politik yang mendeklarasikan dirinya sebagai pencinta demokrasi, membiarkan bahkan menjadi pupuk tumbuh suburnya oligarki. 

"Jangan sampai juga oligarki demokrasi berlindung di balik mayoritas dan kekuasaan. Kalau ini dibiarkan maka tidak bisa terhindarkan bandul demokrasi akan bergeser kepada ke oligarki," kata Didik saat dihubungi, Jumat 29 November 2019.

Ia memprediksi, pergeseran bandul ini pasti juga akan berhadapan dengan kekuatan pencinta demokrasi. Civil society dan pejuang demokrasi akan dengan mudah membangun “koalisi baru” yaitu koalisi pro demokrasi. 

"Dan apabila pergeseran bandul demokrasi semakin masif menuju oligarki bisa dipastikan akan saling berhadapan kutub pro demokrasi melawan koalisi anti demokrasi," tutur Didik.

Menurutnya, oligarki demokrasi seperti ini akan bisa dicegah jika penguasa tidak bermain-main dengan para oligarkh dan secepatnya mengonsolidasikan demokrasi dengan kehendak serta kepentingan rakyat. Dan pada situasi inilah partai politik sebagai bagian pilar demokrasi akan diuji komitmen dan keberpihakannya. 

"Semestinya tidak ada satu pun partai politik yang rela apabila demokrasi direduksi dan didegradasi. Idealnya partai politik tidak akan membiarkan bandul demokrasi bergeser menuju arah oligarki," kata Didik.

Dalam konteks ini, Partai Demokrat memastikan akan menjadi pemimpin pro demokrasi, jika para oligarkh terus membangun sekutu untuk mendestruksi demokrasi menuju bandul oligarki, termasuk jika ada upaya untuk mencabut kedaulatan rakyat, merampas hak rakyat melalui upaya pencabutan pemilu dan pilkada langsung.

Masyarakat Harus Ingat, Pilkada Sultra Hanya 1 Putaran

"Kalaupun dalam pelaksanaan pemilu dan pilkada langsung perlu penyempurnaan, sudah seharusnya dilakukan perbaikan bukan menggeser bandul demokrasi yang selama ini sudah berjalan baik, berjalan demokratis dan fair," ujar Demokrat.

Ia menyebutkan, selama 10 tahun era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), demokrasi tumbuh subur dan rakyat menikmati demokrasi dengan kesukacitaannya dalam memilih pemimpinnya secara langsung. Demikian juga rakyat diberikan ruang dan hak selebar-lebarnya untuk menjadi bagian dari kompetisi. 

H-1 Pemilu AS, Siapa Capres yang Unggul di Jajak Pendapat Nasional?

"Ada apa dengan negeri ini, apakah negara sudah kalah dengan para oligarkh yang ingin menguasai demokrasi? Apakah para pemimpin dan elite akan membiarkan demokrasi dikuasai dan dikontrol oleh para oligarkh? Jangan biarkan demokrasi mati, jangan biarkan oligarkh berkuasa atas nama demokrasi," kata Didik.

Bandul Demokrasi

Prabowo Minta Maaf Belum Sempat Keliling Berterimakasih ke Warga Bali

Ia menjelaskan, salah satu harapan tumbuh kembangnya demokrasi di Indonesia, idealnya akan terwujudnya pemerataan kekuasaan dan ekonomi demi kesejahteraan rakyat. Namun, pada perkembangan saat ini, justru bisa dianggap berjalan di arah yang sebaliknya, kekuasaan dan ekonomi semakin terkonsentrasi.

"Apabila oligarki sudah menguasai demokrasi maka bisa dipastikan, cita-cita terwujudnya pemerataan kekuasaan dan kemakmuran rakyat semakin jauh," ujar Didik.

Didik memprediksi, nantinya makin dalamnya jurang antara si kaya dan si miskin, konsentrasi kekuasaan dan kekayaan meningkat, serta ketimpangan yang juga meningkat adalah potret dan kode keras bahwa bandul demokrasi semakin dekat bergeser ke oligarki. 

"Kalau sampai oligarki menguasai dan mengontrol sistem demokrasi, maka jangan salahkan kalau oligarki demokrasi akan abai terhadap kebutuhan dan kepentingan rakyat," kata Didik.

Wacana pemilu tidak langsung mengemuka setelah Mendagri Tito Karnavian mengusulkan Pilkada Asimetris. Publik juga dikejutkan dengan wacana mengembalikan pemilihan presiden dan wakil presiden ke Majelis Permusyawaratan Rakyat.  

Wacana ini dilontarkan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama Said Aqil Siraj saat bertemu Ketua MPR Bambang Soesatyo. Melalui pernyataan tertulisnya, Bambang Soesatyo menyampaikan bahwa Said Aqil Siradj sebagai pimpinan tertinggi Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PB NU) mengusulkan agar pemilihan presiden dan wakil presiden dikembalikan ke Majelis Permusyawaratan Rakyat. 

"Kami juga mendapatkan masukan dari PBNU, pertama, soal usulan agar pelaksanaan pemilihan presiden dan wakil presiden dilakukan oleh MPR dan tidak melalui pemilihan secara langsung oleh rakyat," kata Bamsoet dalam keterangan tertulisnya, Rabu 27 November 2019.

Usulan itu disebut Bamsoet berdasarkan keputusan Munas NU pada 2012 di Pesantren Kempek, Cirebon, Jawa Barat. Bamsoet mengatakan, ketika itu ada pernyataan "pemilihan presiden dan wakil presiden (melalui MPR) lebih tinggi kemaslahatannya ketimbang langsung'.

"Karena (kalau langsung) lebih banyak mudharatnya. Itu adalah hasil Munas NU di Pesantren Kempek, di Cirebon pada tahun 2012," ujar Bamsoet. 

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya