Wacana Jabatan Presiden Tiga Periode, Buat Siapa

Petugas mengangkat kotak suara untuk didistribusikan ke sejumlah Panitia Pemungutan Suara (PPS) di gudang logistik Komisi Pemilihan Umum (KPU) Solo, Jawa Tengah, Senin, 15 April 2019.
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Mohammad Ayudha

VIVA – Wacana amandemen UUD 1945 untuk menambah masa jabatan Presiden RI jadi tiga periode mencuat. Wacana ini menuai kritikan dan penolakan karena dinilai tak ada urgensi.

Pakar hukum tata negara Bayu Dwi Anggono mengatakan, wacana masa jabatan tiga periode ini seperti ahistoris atau melupakan sejarah. "Hal ini mengingat pengaturan masa jabatan presiden paling lama 2 periode adalah konsensus saat lahirnya gerakan reformasi 1998," kata Bayu kepada VIVAnews, Selasa malam, 26 November 2019.

Dia menjelaskan, masa jabatan presiden tetap dua periode punya beberapa alasan. Pertama, bangsa Indonesia pernah merasakan traumatik saat UUD 1945 di Pasal 7 tidak mengatur secara jelas mengenai masa jabatan Presiden.

Menurutnya, ketidakjelasan pengaturan masa jabatan presiden tersebut membuat bangsa Indonesia seperti mengalami periode otoritarianisme,

"Yang ditandai masa jabatan presiden tidak terbatas dengan praktik koruptif dan kolutif yang menyertainya. Untungnya kemudian gerakan reformasi 1998 berhasil menumbangkan pemerintahan otoriter tersebut," ujar pengajar di Universitas Jember itu.

Lalu, ia menambahkan agenda awal reformasi dengan membentuk Ketetapan MPR Nomor XIII/MPR/1998 tentang pembatasan masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia. Aturan pembatasan masa jabatan tersebut dicantumkan dalam amandemen pertama UUD 1945 yaitu Pasal 7.

Aturan pasal itu menyatakan, Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun. Kemudian, sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan.

"Ide masa jabatan presiden 3 periode jelas bertentangan dengan spirit yang melahirkan gerakan reformasi. Pihak yang melontarkan ide tersebut ingin memutarbalikan agenda reformasi," tutur Bayu.

Kemudian, ia menyinggung sistem pemerintahan presidensial. Kata dia, dalam sistem ini jabatan kepala negara dan kepala pemerintahan dipegang Presiden. Rakyat yang punya hak pilih Presiden dengan masa jabatan bersifat tetap.

Dia menjelaskan, presiden punya masa jabatan bersifat tetap punya tujuan. Hal ini dalam masa jabatannya Presiden tak mudah dijatuhkan oleh parlemen. Maka, sebaliknya masa jabatan presiden juga dibatasi.

Jokowi Blusukan ke Temanggung Temui Petani Kopi, Minta Jaga Kualitas

"Mengenai berapa periode masa jabatan presiden maka praktik negara yang menganut sistem presidensial adalah mayoritas mengatur paling banyak dua periode," ujarnya.

Jerumuskan Jokowi

Ganjar Sebut Pemecatan Jokowi Sudah Tepat Waktunya

Presiden Joko Widodo tiba di Taman Makam Pahlawan Nasional Utama Kalibata.

Pengamat politik Universitas Paramadina, Hendri Satrio curiga, ada pihak yang bermain dengan melemparkan wacana jabatan tiga periode. Ia menilai wacana ini sebagai upaya menjilat Presiden Jokowi.

Nasdem Terbuka jika Jokowi Ingin Gabung Usai Dipecat PDIP

"Ini usaha ngejilat presiden Jokowi aja. Enggak ada yang salah dengan 2 periode, SBY juga dulu 2 periode," ujar Hendri kepada VIVAnews, Selasa, 26 November 2019.

Dia menilai, usulan tiga periode seperti menjerumuskan Jokowi ke isu negatif dan tak penting. Wacana ini akan membuat citra Jokowi kemaruk. "Yang usulkan tiga periode jangan jerumuskan Jokowi. Akan ada citra maruk nanti. Padahal kan bukan Jokowi yang usulkan, bukan Jokowi yang mau," tuturnya.

Ketua MPR RI Bambang Soesatyo menegaskan wacana penambahan masa jabatan Presiden menjadi tiga periode bukanlah bersumber dari kajian internal MPR. Politikus yang akrab disapa Bamsoet itu tak menampik ada usulan dari masyarakat terkait pemberitaan MPR yang akan melakukan amandemen UUD 1945.

Meski demikian, ia menyebut biarkanlah wacana ini menjadi dialektika bangsa dalam negara demokrasi.

"MPR RI tak bisa membendung respons masyarakat yang memberikan banyak usulan terkait amandemen UUD NRI 1945. Waktu, persiapan, dan kajian juga masih sangat panjang. Biarkan wacana itu berkembang sebagai bagian dari dialektika bangsa," ujar Bamsoet, dalam keterangannya, Selasa, 26 November 2019.

Dia mengatakan, jika ada penambahan masa jabatan presiden maka itu untuk pemerintahan yang akan datang. Selain penambahan masa jabatan tiga periode, memang ada wacana lain seperti opsi jabatan Presiden cukup satu periode. Namun, satu periode dibatasi dengan 7 tahun.

"Bukanlah untuk pemerintah saat ini. Melainkan untuk yang akan datang," jelas Bamsoet.

Kepala Staf Presiden Jenderal TNI (Purn) Moeldoko memastikan, pihak Istana tidak punya hak mengusulkan atau mewacanakan penambahan masa jabatan Presiden. Bagi dia, wacana ini seperti diskursus di publik yang menjadi perdebatan.

"Anggaplah itu wacana akademik yang berkembang. Sebuah negara yang demokrasi pasti diskursus tentang hal-hal yang perlu untuk dipublikasikan atau dikonsumsi untuk publik. Menurut saya sih ya berjalan. Karena sama sekali tidak ada inisiasi sama sekali dari Istana tentang wacana itu," kata Moeldoko, di kantornya, Bina Graha Jakarta, Selasa 26 November 2019.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya