Survei LSI: Tren Intoleransi Politik Meningkat Dua Tahun Belakangan
- VIVAnews/Eduward Ambarita
VIVA – Lembaga Survei Indonesia (LSI) menyampaikan temuan soal intoleransi dan kebebasan sipil sebagai tantangan pemerintahan Jokowi pada periode kedua. Dalam survei mereka menyebutkan bahwa intoleransi di bidang politik masih tinggi. Sebanyak 59, 1 persen masyarakat keberatan jika non-Muslim menjadi Presiden dan sebesar 31,3 merasa tidak keberatan.
"Mayoritas warga Muslim intoleran (keberatan) terhadap non-Muslim menjadi kepala pemerintahan di tingkat kabupaten/kota, gubernur, wakil presiden dan presiden," kata Direktur eksekutif LSI, Djayadi Hanan, dalam paparannya kepada media massa di kawasan Jakarta Pusat, Minggu 3 November 2019.
Data itu kemudian makin dibenarkan ketika responden ditanya soal sikapnya terhadap calon pemimpin daerah. Ada 52 persen responden yang menyatakan keberatan jika gubernur mereka memeluk agama non muslim dan tidak keberatan 37,9 persen. Yang keberatan non-Muslim menjadi wali kota/bupati sebesar 51,6 persen dan tidak keberatan 38,3 persen.
"Intoleransi religius kultural cenderung turun sejak tahun 2010, namun penurunan ini berhenti di 2017. Pasca 2017 intoleransi religius-kultural cenderung meningkat terutama dalam hal pembangunan rumah ibadah," kata Djayadi.
Survei LSI sendiri dilakukan pada periode 8 hingga 17 September 2019 dengan penelitian menggunakan metode random (multistage random sampling) terhadap 1.550 responden.
Djayadi menambahkan, tren intoleransi politik cenderung meningkat sejak tahun 2016-2019. Tidak intoleransi di bidang politik saja, intoleransi berupa keberatan warga atau responden terhadap pembangunan tempat ibadah non-Muslim juga terekam sebesar 53 persen.
"Jika dibandingkan 2017 dan 2016 tampak situasi sekarang lebih buruk khususnya kehidupan berpolitik," kata Djayadi. (ren)