Siapa Berani Jadi Oposisi?
- VIVA.co.id/Eduward Ambarita
VIVA – 'The Winner Takes All', begitu ungkapan yang bisa menggambarkan kekuatan politik pemerintahan kedua Joko Widodo bersama wakilnya, KH Ma'ruf Amin untuk lima tahun mendatang (2019-2024). Pemerintahan digenggam, parleman pun dikuasai.
Pimpinan DPR dan MPR seluruhnya dikuasai partai pengusung Jokowi-Ma'ruf. DPD juga demikian, setidaknya tiga pimpinan DPD RI merupakan pendukung Jokowi pada Pilpres 2019 lalu.
Secara hitung-hitungan, partai koalisi pendukung Jokowi-Ma'ruf menguasai 60 persen kursi di parlemen. Kekuatan partai pendukung Jokowi-Ma'ruf dimotori PDIP (128 kursi), Golkar (85 kursi), Nasdem (59 kursi), PKB (58 kursi) dan PPP (19 kursi).
Tersisa 40 persen kekuatan partai non-pendukung Jokowi-Ma'ruf, yakni Gerindra (78 kursi), Demokrat (54 kursi), PKS (50 kursi) dan PAN (44 kursi). Jumlah kekuatan ini masih berpotensi goyah, jika ada partai yang tiba-tiba merapat ke koalisi Jokowi-Ma'ruf.
Dengan komposisi timpang di parlemen ini, praktis dinamika politik di parlemen relatif lebih smooth dibanding periode DPR sebelumnya. Karena baik kekuasaan eksekutif maupun legislatif dikuasai mesin politik yang sama.
Di sisi lain, kekuatan partai non-koalisi Jokowi-Ma'ruf nyaris tak bertaring. Bahkan, tak ada lagi penegas partai oposisi pemerintah, karena Prabowo Subianto, sebagai penantang Jokowi di Pilpres 2019 lalu, sudah membubarkan partai-partai koalisinya.
"Saat ini tidak ada lagi partai politik yang siap jadi oposisi. Satu-satunya partai yang tegas jadi oposisi kan cuma PKS," kata pengamat politik, Adi Prayitno kepada VIVAnews, Kamis, 3 Oktober 2019.
Dominasi partai pengusung Jokowi-Ma'ruf di parlemen memang tak bisa dibendung. Partai pemilik kursi terbanyak pertama di DPR adalah PDIP, kemudian Golkar, Gerindra, Nasdem, dan PKB. Mayoritasnya adalah partai pengusung Jokowi, minus Gerindra.
Komposisi pimpinan DPR RI juga dikuasai partai pendukung pemerintah, tersisa Sufmi Dasco Ahmad, perwakilan dari Gerindra. Berbeda dengan periode pimpinan DPR sebelumnya, dimana kursi pimpinan DPR RI terdapat figur-figur oposan yang 'galak', seperti Fahri Hamzah dan Fadli Zon. "Bisa dipastikan ini akan jadi kabar buruk oposisi di parlemen," ujarnya.
Bila oposisi di parlemen itu mati, pengamat politik dari UIN Syarief Hidayatullah ini menduga oposisi jalanan akan meluber kemana-mana. Itu sudah dibuktikan melalui aksi demonstrasi mahasiswa yang terjadi beberapa hari terkahir di seluruh Indonesia.
"Oposisi ekstra parlementer ini akan bermunculan secara sporadis mengkritisi kinerja pemerintah, mengkritisi kinerja DPR yang cenderung sami'na wa atho'na (mendengar dan patuh dengan pemerintah)," terang Adi.
Oposisi dari Dalam
Adi menilai, kesimbangan politik di parlemen akan sulit terjadi, karena mayoritas dikuasai partai pendukung penguasa (the winner take all). Namun, dalam sistem presidensialisme multipartai ekstrim seperti Indonesia, ada kecenderungan oposisi justru muncul dari internal koalisi.
Berkaca pada periode kedua pemerintahan SBY, dimana partai koalisi pemerintah saat itu juga sangat dominan menguasai parlemen, tapi di tengah jalan muncul partai-partai pendukung SBY, seperti Golkar dan PKS, yang menjadi oposisi di internal koalisi, banyak kritik dan menolak kebijakan SBY.
"Persoalannya apakah oposisi dari dalam ini bisa dilakukan oleh partai koalisi Jokowi atau tidak, wallahualam," kata Adi.
Merujuk situasi politik terkini, Adi menenggarai benih-benih friksi di internal partai koalisi Jokowi-Ma'ruf sudah kentara. Karenanya, ia menduga oposisi yang muncul dari dalam ini juga akan terjadi di pemerintahan periode kedua Jokowi.
"Misalnya, ada tanda-tanda hubungan yang tidak harmonis antara 'Gondangdia' dan 'Teuku Umar' iya toh? Sepertinya, dalam sikap pilihan politik tertentu yang dianggap penting, strategis, yang partai-partai ini akan berbeda, nah itu akan jadi penanda, akan terjadi dinamika justru oposisi itu muncul dari internal pendukung Jokowi sendiri."