Kontroversi RUKHP, PKS Minta Pasal Penghinaan Presiden Dihapus
- ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan
VIVA – Partai Keadilan Sejahtera meminta agar pasal mengenai penghinaan presiden dihapus dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dicabut. Pasal ini dinilai rancu dan mengancam kebebasan berpendapat masyarakat.
Wakil Ketua Fraksi PKS, Al Muzammil Yusuf menyampaikan hal ini dalam paripurna DPR, Kamis, 26 September 2019.
"Terkait dengan pasal penghinaan presiden dan wakil presiden, Fraksi PKS mengusulkan pasal 218, 219, 220 dalam RKUHP soal penyerangan kehormatan dan hak martabat presiden wakil presiden dicabut," kata Muzammil di ruang paripurna, kompleks parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis 26 September 2019.
Muzzamil mengatakan, pandangan fraksinya didasari putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 13 Tahun 2006. Lalu, Putusan Nomor 6 Tahun 2007 yang mencabut pasal 134, 136, 137, 154, 155 KUHP dengan pertimbangan menimbulkan ketidakpastian hukum.
Seseorang dapat dipidana karena ucapannya menyinggung kepala negara.
"Karena sangat rentan pada tafsir apakah suatu protes pernyataan pendapat atau pikiran merupakan kritik atau penghinaan terhadap presiden atau wakil presiden," katanya.
Dia pun bilang, alasan lain pasal penghinaan presiden dihapus karena mengancam kebebasan pers. Ia pun khawatir indeks demokrasi Indonesia makin mersosot jika pasal penghinaan kepala negara itu jadi disahkan pada DPR periode mendatang.
"Jika tidak, akan berpotensi kekuasaan yang otoriter, sakralisasi terhadap institusi kepresidenan yang disebut power tend to corrupt, absolut power corrupt absolutely. Kekuasaan dikorupsi dengan semena-mena," ujarnya.
Penghinaan presiden menjadi salah satu pasal kontroversial dalam RKUHP. Pasal ini menuai penolakan dari masyarakat luas karena mengancam kebebasan berpendapat.
Dalam RKUHP nomor 218 ayat 1 tertulis setiap orang yang menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri presiden atau wakil presiden dapat dipidana. Hukuman pidananya paling lama 3 tahun, 6 bulan. (sah)