Tak Ada Kegentingan, Presiden Tak Mau Keluarkan Perppu KPK
- ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga
VIVA – Pemerintah tetap menolak desakan mahasiswa dan masyarakat sipil untuk membatalkan UU KPK hasil revisi UU Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan menerbitkan Perppu KPK.
UU KPK yang baru ini dianggap melemahkan komisi antirasuah. Akibatnya, ribuan mahasiswa tumpah ruah baik di DPR dan beberapa daerah, menolak hasil revisi itu.
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Hamonangan Laoly menegaskan, pihaknya menolak dikeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) terhadap UU KPK yang baru.
"Kan sudah saya bilang, sudah Presiden bilang, gunakan mekanisme konstitusional," kata Yasonna di Istana Kepresidenan Jakarta, Rabu 25 September 2019.
Untuk membatalkan UU yang baru disahkan, memang hanya lewat dua cara. Jalan cepat adalah Presiden mengeluarkan perppu. Cara kedua, adalah mengajukan judicial riview ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Yasonna mendorong agar mahasiswa dan masyarakat sipil yang menolak UU KPK hasil revisi agar menempuh jalur hukum itu.
"Kita hargai mekanisme konstitusional kita kecuali kita tidak menganggap negara ini negara hukum lagi, gitu aja," kata Politikus PDI Perjuangan itu.
UU KPK yang baru hasil revisi pertama kalinya setelah 17 tahun. Oleh karena itu menurut Yasonna tidak baik kalau langsung di-perppu-kan. Tidak ada alasan menurut dia untuk dikeluarkanPerppu KPK.
"Lho mana apanya barusan disahkan, perppu alasan apa," kata dia.
Meski desakan publik begitu kuat, ditambah suasana kaos akibat penolakan terhadap UU KPK hasil revisi dianggap belum masuk kategori kegentingan yang memaksa.
Untuk diketahui, perppu baru bisa dikeluarkan oleh presiden jika alasan kegentingan yang memaksa. Juga harus mendapat persetujuan DPR.
"Bukan apa. Jangan dibiasakan. Imam Putrasidin (pakar hukum tata negara) juga mengatakan janganlah membiasakan cara-cara begitu. Berarti dengan cara itu mendelegitimasi lembaga negara. Seolah-olah enggak percaya pada MK," kata Yasonna.