Rizal Ramli Sebut Indonesia Masuki Pancaroba Politik
- ANTARA FOTO/Aprillio Akbar
VIVAnews - Tokoh nasional Rizal Ramli mengatakan Indonesia tengah memasuki pancaroba. Namun, yang dimaksud bukan terkait dengan perubahan cuaca, melainkan perubahan politik. Menurut mantan Menko Ekuin di era pemerintahan Abdurrahman Wahid alias Gus Dur itu, pancaroba politik bisa diartikan perubahan menuju Indonesia maju atau justru mengalami kemunduran.
Setidaknya, kata Rizal Ramli, ada lima faktor yang membuat pancaroba politik itu terjadi. Pertama, sebut Rizal Ramli, dari aspek hukum, khususnya pemberantasan korupsi.
"Pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi melalui revisi UU KPK yang sudah disahkan DPR akan terus menjadi bola salju," ujar Rizal Ramli kepada wartawan, Senin, 23 September 2019.
Kedua, sambung Rizal, masalah Papua yang belum tuntas. Sebab, menurut pria yang karib disapa RR itu, aparat keamanan terkesan mengaburkan masalah utamanya, yakni, kasus rasial di Asrama Papua.
"Semua masalah itu kan ada sebab dan akibatnya. Seharusnya aparat itu menangkap aktor intelektual penyebab kasus rasial di Asrama Papua, bukan masyarakat dan mahasiswa Papua yang menuntut keadilan," kata Rizal.
Persoalan yang ketiga, lanjut Rizal Ramli, adalah masalah ekonomi, terutama daya beli masyarakat yang semakin menurun.
"Salah satu solusi untuk meningkatkan daya beli adalah memberi insentif untuk menggenjot kemampuan beli masyarakat. Selain itu jangan kenakan pajak untuk pedagang kelas menengah ke bawah. Kemudian, jangan ada kenaikan TDL bagi pengguna listrik 900 VA agar mereka bisa membelanjakan uangnya untuk kebutuhan pokoknya," tuturnya.
Selanjutnya, ungkap Rizal Ramli adalah persoalan BPJS Kesehatan yang defisit dan seolah tak ada jalan keluar untuk mengatasinya, sehingga keputusannya adalah menaikan iuran. Hal ini, menurut Rizal Ramli, justru akan menambah angka kemiskinan.
Dia mengatakan solusi mengatasi BPJS Kesehatan yang defisit pertama yakni pemerintah harus menyuntikkan modal BPJS Kesehatan Rp20 triliun. Sebab, modal awal BPJS Rp5 triliun, BPJS dirancang ‘gagal finansial’ sejak awal. Kemudian revisi Undang-Undang BPJS soal besaran iuran.
"Jadi, iuran pekerja maksimal 2 persen dari pendapatan, sementara perusahaan 6 persen. Besaran ini bisa disesuaikan berdasarkan tingkat pendapatan. Misalnya, di bawah upah minimum kerja di gratiskan," kata mantan anggota Tim Panel Ekonomi PBB itu.
Lalu, lanjut dia, penyesuaian pembayaran klaim penyakit kronis dan terminal yang disesuaikan dengan pendapatan pasien. Untuk penyakit menengah atas dan orang kaya, harus top up.
"Prinsipnya dari sisi penerimaan dan pembayaran harus cross subsidy," kata Rizal.
Faktor keempat dari pancaroba politik, kata Rizal, adalah investasi Tiongkok di Indonesia yang begitu masif seolah ada privelege.
"Kita harus hati-hati dengan strategi loan to own China. Di beberapa negara mereka membantu proyek-proyek yang sudah pasti tidak untung. Setelah itu mereka akan memilikinya," ujar Rizal.
Persoalan terakhir adalah krisis kebakaran hutan dan lahan (karhutla) yang sudah sangat serius. Bahkan, dampak asap akibat karhutla itu sudah sampai ke negara tetangga, seperti, Malaysia. Beberapa wilayah di Sumatra dan Kalimantan pun sudah tidak layak sebagai ruang hidup. Kehancuran lingkungan ini menurutnya akan terasa ke masa-masa mendatang.
Efek dari kebakaran ini akan terasa jauh ke depan. Dia mengemukakan ada studi yang mengatakan bahwa bayi-bayi yang terekspos asap kebakaran memiliki kecerdasan yang lebih rendah daripada yang tidak.
"Pemerintah harus memberikan sanksi tegas terhadap pelaku karhutla dan juga korporasi yang terbukti melakukan land clearing dengan cara membakar hutan dan lahan. Bagi korporasi yang kedapatan membakar karhutla, lahannya harus disita oleh negara, kemudian pemerintah membagikan lahan itu pada masyarakat agar digarap sehingga produktif dan masyarakat dapat sejahtera," kata Rizal.
Dari kelima faktor itu, Rizal yakin bahwa perubahan di Indonesia bisa lebih baik asalkan Presiden Jokowi memiliki kredibilitas yang kuat, tetap dipercaya masyarakat, lantaran mau mendengarkan dan memahami kegelisahan publik, dan keberpihakannya terhadap rakyat nyata.
"Esensinya dari seluruh pancaroba politik yang tengah dihadapi, semua tergantung dari kredibilitas Presiden, trust masyarakat, dan keberpihakan Pak Jokowi terhadap rakyat nyata. Kalau dia memiliki itu tentu masalah pancaroba politik bisa diselesaikan," tutur Rizal. (hty)