Catatan Minus Wakil Rakyat di Senayan

Suasana Rapat Paripurna Penutupan Masa Sidang di Komplek Parlemen DPR RI
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja

VIVA – Kurang dari hitungan sebulan, Anggota DPR periode 2019-2024 akan dilantik. Para wakil rakyat ini diminta untuk menjawab pesimisme pandangan publik terhadap kinerja pendahulunya.

BNI Raih Predikat "The Most Trusted Companies" di Ajang Corporate Governance Perception Index Award 2024

Pembuktian ini tak mudah sebab kinerja DPR periode 2014-2019 yang masa baktinya akan habis pada akhir September ini punya catatan minus.

Pengamat dari Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Lucius Karus menyebut kinerja periode sekarang paling buruk. "Kinerja DPR 2014-2019 nampak paling buruk dibandingkan dengan DPR-DPR era sebelumnya selama masa reformasi," kata Lucius kepada VIVAnews, Senin, 2 September 2019.

Soroti Surat Kesbangpol Batam Minta Camat Kumpulin Data C1, DPR: Mengintersepsi Kewenangan KPU-Bawaslu

Dia menjelaskan di bidang legislasi misalnya pencapaian buruknya terlihat. Misalnya pada 2015 hanya 3 dari 49 Rancangan Undang-undang atau RUU Prioritas yang diselesaikan. Namun, pada 2016 agak meningkat menjadi 10 dari 50 RUU yang direncanakan.

"Tahun 2017 dibanding performa 2016 tak bisa digenjot lagi. Malah turun lagi menjadi 6 RUU yang disahkan dari 52 yang direncanakan," jelas Lucius.

Anggota DPR Sebut Pengesahan Pimpinan-Dewas KPK Digelar Pekan Depan

Lalu, sepanjang tahun 2018 lalu, hanya 5 RUU dari 50 RUU prioritas yang direncanakan. Begitu pun di tahun ini sampai awal September 2019 atau jelang masa bakti habis, DPR baru mengesahkan 3 RUU dari 55 yang targetkan. "Dengan demikian total hanya 27 RUU dari 189 yang direncanakan selama 5 tahun, yang bisa disahkan DPR," tutur Lucius.

Dia menyebut banyak pekerjaan rumah bagi periode saat ini untuk menggenjot RUU yang belum terselesaikan. Meski sejumlah RUU disiapkan untuk disahkan seperti RUU Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) pada bulan ini.

Namun, ada juga RUU lain seperti RUU Sumber Daya Air, RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS), RUU Jabatan Hakim yang masih jadi problem di tengah mepetnya masa kinerja.

"Akan banyak RUU yang nampaknya bernasib sampai pada pembahasan saja. Jika demikian anggaran menjadi sia-sia," ujar Lucius.

Lucius pun menyindir kelakuan anggota dewan yang sering bolos paripurna jelang berakhirnya masa bakti mereka. Tak ada di paripurna namun biasanya tandatangan mereka ada dalam absensi sehingga paripurna bisa kuorum.

"Masalah terbesar DPR hingga menghasilkan sedikit RUU saya kira adalah rendahnya komitmen untuk bekerja hingga berdampak pada kemalasan anggota untuk menghadiri sidang," tuturnya.

Lembaga yang dipimpinnya dicecar, Ketua DPR Bambang Soesatyo merespons. Ia mengatakan, DPR dan pemerintah ingin mengubah paradigma pembahasan legislasi yang tak hanya menekankan pada aspek kuantitas. Namun, melainkan lebih fokus kepada kualitas.

"Sehingga anggapan bahwa kinerja DPR RI jeblok lantaran jumlah RUU yang diselesaikan sedikit, sangat tidak tepat," ujar politikus yang akrab disapa Bamsoet itu dalam keterangannya.

Pengawasan Memble

Suasana di Ruang Rapat Paripurna DPR RI.

Sebagai lembaga legislatif, DPR juga berperan mengawasi pemerintah. Namun, lagi-lagi, kinerja ini masih belum membanggakan. Padahal, DPR yang menjadi acuan publik adalah kinerja dalam membuat UU, pengawasan, dan hak budgeting.

"Secara umum kinerjanya masih belum membanggakan dan jauh dari harapan rakyat," tutur pengamat politik Universitas Al Azhar Indonesia, Ujang Komarudin kepada VIVAnews, Senin, 2 September 2019.

Ia menyebut fungsi pengawasan masih memble karena DPR tak bisa optimal melakukan kinerjanya. Ia khawatir hal ini karena kemungkinan ada deal antara DPR dengan pemerintah. "Jika mengawasi pemerintah mereka masih memble. DPR tidak berusara lantang dalam mengawasi jalannya pemerintahan," tuturnya.

Begitu juga terkait hak budgeting DPR yang tak maksimal. Bukannya berprestasi melainkan pemberitaan buruk yang melekat di Senayan. Berulangkali anggota dewan diamankan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Ketua DPR Bamsoet berdalih sebagai lembaga legislasi, pihaknya sudah berjuang untuk membangun kepercayaan publik. Hal ini menurutnya tak mudah, namun selalu diupayakan.

"Kami berupaya menjawab kritikan itu dengan membangun citra positif dari kinerja. Memang tak mudah menjawab dan membuktikannya," ujar Bamsoet di komplek parlemen, Senayan, beberapa hari lalu.

Dia pun tak setuju jika pencapaian legislasi DPR seperti yang disampaikan Formappi. Menurutnya, selama lima tahun ini, DPR bersama pemerintah menghasilkan 77 UU. Ada beberapa UU yang disahkan dengan pembahasan bareng pemerintah.

"Terdapat penambahan satu RUU yang berhasil diselesaikan pada 20 Agustus lalu, yaitu RUU tentang Pertanggungjawaban atas Pelaksanaan APBN Tahun Anggaran 2018," tutur Bamsoet.

Sementara, Ketua Badan Legislasi DPR RI Supratman Andi Agtas tak menutup mata dengan pencapaian legislasi yang masih merosot. Tapi, ia meminta persoalan ini dilihat secara obyektif. Sebab, dalam pembuatan UU, bukan hanya DPR yang bertanggungjawab.

"Bahwa dalam melahirkan sebuah UU tidak boleh hanya DPR yang bertanggungjawab. Berkali-kali saya katakan rata-rata UU sekarang ini macet bukan di kita sebenarnya," tutur Supratman kepada VIVAnews, Senin, 2 September 2019.

Dia menyebut misalnya proses pembahasan RUU tentang Aparatur Sipil Negara (ASN). Mandeknya RUU ini dinilai bukan dari DPR. Melainkan sulitnya pihak pemerintah yang hadir saat pembahasan sehingga molor. "Coba bayangkan ada UU ASN. Sekalipun kita rapat kerja berkali-kali kita undang tak pernah datang menterinya," tuturnya.

Tak hanya itu, masih ada contoh pembahasan RUU lain yang stagnan seperti RUU tentang pertambakauan sampai RUU Perlindungan dan Pemberdayaan Petani (PPP) karena persoalan bukan dari DPR. Kata dia, jika dipilah maka diketahui penyebabnya dalam proses pembuatan RUU.

"Saya minta juga teman-teman objektif lihat ternyata hambatannya di mana. Kita harus pilah-pilah itu satu UU," tuturnya.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya