Warisan Timur Tengah, Cadar dan Celana Cingkrang Belum Tentu Radikal
- U-Report
VIVA – Cadar dan celana cingkrang menjadi bahan perbincangan masyarakat, beberapa waktu terakhir. Hal ini terjadi setelah Menteri Agama, Fachrul Razi berencana melarang penggunaannya di Instansi Pemerintah. Wacana kontroversial tersebut jelas menuai beragam komentar.
Direktur Lingkar Kajian Agama dan Kebudayaan Nusantara (LKAB Nusantara), Fadhli Harahab mengatakan, cadar dan celana cingkrang merupakan produk kebudayaan yang lahir dari Negeri Gurun Pasir, misalnya Timur Tengah.
"Cadar itu produk kebudayaan Negeri Gurun Pasir, bisa jadi menutup muka dengan cadar merupakan salah satu cara mereka untuk menghindari debu gurun pasir," ucapnya saat dihubungi VIVA.co.id, Minggu 3 November 2019.
Menurut dia, cadar dan celana cingkrang bukan murni produk Islam yang tercantum dalam perintah Alqur'an dan Al-Hadits. Keduanya, kata Fadhli, bahkan masih menjadi perdebatan ulama sampai saat ini. Dia menilai terkait masuknya cadar ke Indonesia itu sejak adanya penyebaran Islam di tanah air melalui kerajaan-kerajaan Islam.
"Booming-nya penggunaan cadar dan celana cingkrang sekitar tahun 80-an dengan semakin maraknya gerakan Islam politik," jelas dia.
Fadhli mengatakan, perlu diluruskan kembali soal penggunaan celana cingkrang dan cadar dengan radikalisme. Menurut dia, radikalisme tidak terkait dengan problematika style berpakaian seseorang. Justru, kata dia, radikal itu adalah pola pikir seseorang yang telah terkontaminasi dengan paham tertentu dan dia menelan bulat-bulat paham itu.
"Terlepas dari apapun bahasanya apakah itu radikalisme atau fanatisme, gaya berbusana seseorang tidak sama sekali terkait dengan radikalisme itu," kata Fadhil.
Menurut dia, soal aturan dan larangan cadar atau celana cingkrang bagi aparatur sipil negara (ASN) di instansi terkait itu menjadi wewenang pemerintah.
"Tapi jika larangan itu dibawa ke publik, saya pikir itu harus dibahas lebih dalam dan komprehensif. Sebab, dipastikan akan ada banyak hambatan jika itu diterapkan di ruang publik," katanya.
Sementara itu, Pakar Bahasa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Hilmi Akmal menjelaskan celana cingkrang sudah kadung dipahami secara salah kaprah oleh masyarakat. Arti kata cingkrang menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah terlalu pendek. Jadi, bila celana cingkrang dimaknai sebagai celana panjang yang ujungnya menggantung di atas mata kaki, maka itu tidak dapat dibenarkan jika melihat definisi dari KBBI.
"Celana cingkrang yang secara maknawi tepat adalah celana yang terlalu pendek. Jadi lebih pendek dari celana pendek. Mungkin dalam dunia fashion disebut dengan celana hot pants, celana pendek yang ujungnya semakin jauh di atas lutut," kata dia.
Kemudian, Hilmi menyebut tidak pernah ada kaitannya orang yang memakai celana hot pants yang terlalu pendek alias cingkrang itu terpapar radikalisme.
"Apa ada orang yang terpapar radikalisme memakai celana hot pants yg terlalu pendek alias cingkrang itu? Saya rasa tidak pernah ada," jelas Hilmi.
Di samping itu, Hilmi mengatakan ada pula yang mengatakan celana yang ujungnya menggantung di atas mata kaki itu sebagai celana sirwal. Tapi, kata dia, itu pun tidak tepat. Lantas, disebut apa tepatnya celana yang ujungnya menggantung di atas mata kaki itu?
"Menurut saya, karena celana model seperti itu mengikuti sunah Rasulullah dalam berpakaian, mengapa tidak disebut saja sebagai celana suro, celana sunnah rosul," katanya.