Amandemen UUD 1945 dan GBHN, Pintu Masuk Pilpres 2024
- dw
Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Bambang Soesatyo mengatakan keputusan terkait wacana amandemen Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 terkait Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) tidak akan dilakukan dalam waktu dekat.
Setidaknya, amandemen baru akan dilakukan di tahun ketiga masa jabatan MPR RI 2019-2024 setelah menyerap hasil amandemen UUD 1945.
Selain menghidupkan kembali GBHN, wacana seperti mengembalikan wewenang MPR untuk memilih presiden serta penambahan masa jabatan Presiden RI mengemuka.
Apa tujuan dari rencana amandemen kelima ini? Mengapa amandemen terakhir di tahun 2002 dirasa belum cukup menjamin kehidupan bernegara? Wawancara Deutsche Welle (DW) Indonesia dengan pakar hukum tata negara Bivitri Susanti.
Deutsche Welle: MPR tengah mempertimbangkan wacana mengamandemen UUD 1945 terkait menghidupkan kembali GBHN. Apakah amandemen 2002 dirasa belum cukup menjamin kehidupan bernegara?
Bivitri Susanti:
Kalau saya melihat amandemen 1999-2002 itu sudah baik, kalau pun ada kelemahan, semua negara di dunia termasuk di Jerman juga ada kelemahannya. Tidak semua hal bisa dan perlu diatur dalam konstitusi. Ada hal-hal yang memang masih dilihat sebagai kelemahan dalam demokrasi, bisa diatur dalam Undang-Undang atau kebijakan lainnya. Yang penting konstitusi pada dasarnya seperti kontrak sosial kita waktu kita ingin reformasi. Hasil amandemen 2002 itu sudah cukup menurut saya bagi demokrasi, ada Mahkamah Konstitusi, presiden dipilih langsung. Saya melihat sebenarnya justru karena kita sudah mulai demokratis dalam semua aspek, kemudian elit politik partai melihat pegaruh mereka berkurang. Terus ada konsolidasi demokrasi dalam arti negatif. Orang seperti Jokowi yang bukan siapa-siapa di partai bisa jadi presiden, oligarki partai dalam tanda kutip kalah. Kelihatannya mereka mau ambil lagi nih, salah satunya dengan cara presiden dipilih lagi oleh MPR bukan rakyat.