RUU Penghapusan Kekerasan Seksual Batal Disahkan DPR
- VIVAnews/Joseph Angkasa
VIVA – Dewan Perwakilan Rakyat dan pemerintah sepakat untuk tidak mengesahkan Rancangan Undang-undang (RUU) Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS).
Apalagi RUU ini juga harus disesuaikan dengan RKUHP yang ditunda pengesahannya. Seperti diketahui RUU PKSÂ Â menjadi salah satu yang menjadi perhatian publik.Â
"Ya tidak mungkin dong, tidak mungkin lagi (disahkan di periode ini)," kata Ketua Panja, Marwan Dasopang di kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu, 25 September 2019.
Ia menjelaskan, baik DPR maupun pemerintah sudah sepakat soal pasal pencegahan, perlindungan dan rehabilitasi. Namun mengenai pasal pemidanaan masih perlu disesuaikan dengan KUHP.
"Tinggal pidana nanti kita bandingkan dengan KUHP, tinggal pemidanaan. Itu semacam KUHAP-nya ditambah pemberatan, misal rampas hartanya untuk rehabilitasi," ujar Marwan seperti dikutip VIVAnews.
Di sisi lain, Deputi Perlindungan Hak Perempuan Kementerian PPA, Venetia Danes, menjelaskan terdapat sembilan jenis kekerasan seksual. Dalam RKUHP, sudah diatur pasal soal pemerkosaan dan pencabulan.Â
"Sebab itu kami berharap tujuh perkara yang tidak diatur dalam RKUHP akan merupakan lex specialis yang diatur di RUU PKS ini. Karena memang itu nyata ada kasus-kasusnya yang tidak bisa terselesaikan dengan peraturan perundang-undangan yang ada," kata Venetia.Â
Menurutnya, ke depan akan ada sinkronisasi antara RUU PKS dengan RKUHP. Oleh karena itu, DPR RI selanjutnya bisa membahas soal RUU ini.
Ia melanjutkan panja juga sepakat membentuk tim perumus (timus). Timus berfungsi sebagai wadah diskusi terhadap hal yang belum sepakat.
"Nanti setelah ada timus akan timbul hal-hal setiap pasal-pasal yang ada di dalamnya yang nanti kontroversi atau mungkin diragukan, DPR bikin begini, pemerintah bikin begini, kita satukan, penyamaan persepsi. Sehingga betul-betul undang-undang ini hadir untuk menjawab kebutuhan korban kekerasan seksual," kata Venetia.
Seperti diketahui, RUU PKS yang terdiri dari 16 Bab dan 184 pasal tersebut dikeluarkan oleh DPR RI yang bertujuan untuk mencegah segala bentuk kekerasan seksual, menangani, dan melindungi korban, serta menindak para pelaku.