Gelandangan Bakal Kena Denda Rp1 Juta di RUU KUHP
VIVA – RUU Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) yang akan segera disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menjadi sorotan banyak pihak dan menuai kontroversi. Salah satu pasal yang menuai kontroversi soal gelandangan yang akan dikenakan denda sebesar Rp1 juta.
Dalam pasal yang mengatur soal gelandangan di RKUHP, yakni Bagian Kedelapan Penggelandangan pasal 432 disebutkan bahwa setiap orang yang bergelandangan di jalan atau di tempat umum yang mengganggu ketertiban umum dipidana dengan pidana denda paling banyak kategori I, yakni sebesar Rp1 juta.
Terkait pasal tersebut, anggota Panja RKUHP DPR, Nasir Djamil menuturkan bahwa tujuannya supaya pemerintah memberikan perhatian kepada warga negara dan melindungi agar mereka tidak menjadi gelandangan. Pun jika sudah menjadi gelandangan, bagaimana mencari solusi yang tepat untuk mengatasinya. Â
"Ini UU mengharuskan pemerintah melindungi supaya bagaimana gelandangan itu diberi insentif oleh negara, dilindungi oleh negara. Cara melindunginya gimana? Ya menjaga mereka supaya tidak jadi gelandangan atau kalau pun mereka menjadi gelandangan, tentu harus dicari solusi," kata dia, Jumat, 20 September 2019, seperti dikutip dari VIVAnews.
Lebih lanjut dia menuturkan bahwa pasal tersebut juga berupaya untuk memberi solusi dalam upaya mencegah atau mengatasi supaya tidak banyak warga negara yang menjadi gelandangan. Sebab, masalah gelandangan merupakan tanggung jawab pemerintah.
Selain itu, pasal ini juga dimaksudkan untuk menciptakan ketertiban umum. Dalam pasal ini, ada tiga kepentingan yang dibangun, yakni kepentingan negara, kepentingan umum, dan kepentingan korban atau pelaku gelandangan. Â
"Nanti aparat penegak hukum tidak bisa langsung. Dia bisa lihat, orang ini melakukan karena korban dari negara atau bagaimana? Jadi sebenarnya UU ini lebih banyak restorative justice daripada retributive. Banyak orang enggak paham," tuturnya.
Nasir mengakui bahwa tujuan penerapan denda bagi gelandangan dengan yang disampaikan memang tampak tidak berkaitan. Kendati demikian, menurutnya, itu karena hukum tidak bisa berdiri sendiri, sehingga gelandangan harus menjadi subyek hukum supaya hukum ditaati. Â