Pasal Zina dan Kumpul Kebo di RKUHP Rentan Lahirkan 'Penegak Moral'
- abc
Revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) yang akan disahkan DPR Indonesia menuai kontroversi. Sejumlah pasal di dalamnya dianggap membelenggu kebebasan sipil, di antaranya pasal soal perzinaan dan samenleven atau yang dikenal sebagai kumpul kebo.
Dua pasal itu tercantum dalam BAB XV Tindak Pidana Kesusilaan RKUHP.
Dalam ayat satu-nya, Pasal 417 yang mengatur soal perzinaan menyebutkan "Setiap Orang yang melakukan persetubuhan dengan orang yang bukan suami atau istrinya dipidana karena perzinaan dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda Kategori II."
Sementara dalam ayat satu di Pasal 419 yang mengatur soal kohabitasi atau samenleven disebutkan bahwa "Setiap Orang yang melakukan hidup bersama sebagai suami istri di luar perkawinan dipidana dengan penjara paling lama 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak kategori II."
Denda dengan kategori yang dimaksud berjumlah sekitar Rp 50 juta.
Permasalahannya, menurut Sekar Banjaran Aji dari ELSAM, jurang pemahaman di antara para penegak hukum dalam membaca pasal dalam RKHUP sangatlah besar.
"Kalau dengan KUHP sekarang yang masih jelas saja sering salah bagaimana kalau RKUHP yang baru dengan pasal yang sangat multitafsir," kemukanya.
“Akan terjadi kekacauan besar terutama terkait pasal yang hidup di masyarakat," imbuhnya.
Selain itu, Sekar memaparkan hal yang perlu disoroti dari pasal pertama (417) adalah adanya wewenang orang tua untuk mengadukan anak-anaknya.
"Dengan mengatur delik ini sebagai delik aduan yang bisa diberikan oleh orang tua, kemungkinan yang akan terjadi adalah peningkatan jumlah perkawinan anak," sebutnya kepada ABC.
Sekar mengatakan penilaian itu didasari oleh hasil riset Koalisi 18+ di tahun 2016 yang menyebutkan 89 persen permohonan perkawinan anak dilakukan atas dasar permintaan orang tua, karena orang tua khawatir anaknya akan berzina.
Salah satu pasal kontroversial dalam RUU KUHP adalah larangan aborsi bagi perempuan, tak terkecuali korban perkosaan.
ABC; Archicco Guiliano
Ia juga mengutip data Pusat Studi Kajian Gender Universitas Indonesia dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) di tahun yang sama terkait perkawinan anak itu.
"Tingginya angka perkawinan anak sejalan dengan tingginya angka putus sekolah dan kematian Ibu karena sistem reproduksi dari anak perempuan yang menjadi calon Ibu belum mumpuni untuk melakukan persalinan," jelasnya.
Sama halnya dengan Pasal 417, Pasal 419 juga menggunakan delik pengaduan. Dalam hal ini, pengaduan bisa diajukan oleh kepala desa atau pejabat sejenis dengan sebutan lainnya sepanjang tidak terdapat keberatan dari suami, istri, orang tua, atau anak dari pihak yang diadukan.
Sekar menuding, secara tidak langsung kriminalisasi perzinaan dan kohabitasi ketika dilakukan oleh orang dewasa secara konsensual, tanpa paksaan dan kekerasan- adalah bentuk serangan langsung terhadap privasi.
"Kriminalisasi perzinaan dalam RKUHP juga kontra produktif terhadap upaya penanggulangan HIV/AIDS dan infeksi menular seksual (IMS) di Indonesia, dan sekali lagi menunjukkan bahwa kebijakan politik hukum dan kesehatan Indonesia belum sepenuhnya berbasis bukti," paparnya.
Lahirnya "penegak moral"
Pada hari Selasa, 17 September 2019, Majelis Ormas Islam (MOI) menggelar konferensi pers di Jakarta terkait RKHUP.
MOI menuntut DPR agar segala perbuatan yang mereka anggap perzinaan dan cabul di antara manusia yang berlawanan jenis maupun yang sesama jenis tetaplah tindakan pidana meskipun tidak dilakukan tidak di depan umum atau ruang tertutup, tidak dilakukan secara paksa, tidak dilakukan dengan kekerasan atau ancaman kekerasan dan meski korban melakukannya dengan sukarela.
"Perbuatan perzinaan dan perbuatan cabul yang diketahui masyarakat, dapat dilaporkan oleh masyarakat dan atau ketua RT/RW," kata Wakil Ketua Presidium MOI, Nazar Haris, 17 September 2019, merespons delik aduan dalam pasal 419 yang hanya boleh dilakukan jika tak ada keberatan dari orang tua, anak, atau pasangan dari pihak yang diadukan.
Sekar Banjaran Aji dari ELSAM (pojok kanan) bersama rekan-rekannya dari Koalisi Masyarakat Sipil Peduli Revisi KUHP. Koalisi ini menilai RUU KUHP berpotensi membelenggu kebebasan sipil.
Supplied
Menanggapi seruan MOI tersebut, Sekar mengatakan pasal perzinaan dan kohabitasi dalam RKUHP memang rentan memunculkan "penegak moral" baru, tak hanya terbatas pada Kepala Desa, seperti mandat pasal.
Aksi MOI itu dan konteks meningkatnya gerakan Islam, sebut Sekar, bisa membuat dua pasal tadi memperbesar peluang perpecahan serta konflik horizontal di tengah masyarakat.
"Melihat riset Puskapa di tahun 2017 bahwa lebih dari 50 persen pasangan yang menikah di Indonesia tidak memiliki bukti perkawinan, dan sebagian besar dari mereka hidup dalam kemiskinan, di daerah terpencil, mengalami disabilitas, atau pemeluk agama atau kepercayaan di luar enam agama yang diakui oleh pemerintah," kemukanya.
Ranah privasi yang ditarik ke luar
Pakar hukum Anugerah Rizki Akbari mengatakan pasal 417 dan 419 dalam RKHUP itu menimbulkan kekhawatiran bahwa persoalan-persoalan yang terjadi dalam lingkup rumah tangga semacam "dipromosikan" untuk diselesaikan dalam jalur pidana.
"Jadi, orang tua bisa melaporkan anaknya, anaknya bisa melaporkan orang tua. Padahal dalam sebuah konsep hukum pidana, penyelesaian-penyelesaian itu harus menggunakan mekanisme-mekanisme lain selain hukum pidana dulu."
"Baru kalau enggak bisa, hukum pidana bisa masuk," ujar dosen di Sekolah Hukum Jentera ini.
Kriminalisasi tersebut, kata Anugerah, tidak jelas arahnya. Ia membenarkan pemaparan Sekar bahwa di Indonesia, masih banyak sekali terdapat perkawinan-perkawinan yang tidak dicatatkan oleh pasangan.
"Jadi ketika dia tidak bisa membuktikan dirinya itu adalah pasangan yang sah dan biasanya pembuktiannya itu adalah dengan menggunakan pencatatan dari negara, maka itu juga berpotensi diproses."
Dalam konteks ini, sebut Anugerah, batasan privasi yang dimiliki oleh individu menjadi terancam.
"Karena bahkan di kamar kita sendiri, kita enggak bisa nyaman," ungkapnya kepada ABC.
Hal yang lebih penting adalah nilai pencelaan terhadap perbuatan yang termuat dalam sanksi pidana.
"Jadi dengan memberikan sanksi pidana terhadap perbuatan, kaya misalnya tadi kohabitasi, maka kita memberi justifikasi bahwa perbuatan itu betul-betul tercela," jelas Anugerah, yang biasa disapa Eki ini.
"Karena perbuatan itu betul-betul tercela maka dia akan memberikan stigma."
Meski stigma dan pencelaan tersebut, dalam konteks formalnya, dijalankan oleh aparatur negara seperti polisi, jaksa dan hakim di pengadilan, pembuat RKHUP serta masyarakat juga harus mengantisipasi respons-respons sosial terhadap perbuatan tersebut.
Simak berita-berita lainnya dari ABC Indonesia