Rizal Ramli: Kecurangan Pemilu Kubu Jokowi Sudah Ada Sejak 2014
- ANTARA FOTO/Aprillio Akbar
VIVA – Ekonom Rizal Ramli, mengungkapkan proses pemilu 2019 ini kecurangan yang dilakukan kubu Joko Widodo terlihat sangat luar biasa besar. Kecurangan dilakukan dengan terstruktur, sistematis dan masif yang mencederai proses demokrasi.
Rizal menyebutkan, sebenarnya kecurangan semacam ini telah terjadi pada tahun 2014 lalu, namun waktu itu skalanya tidak begitu besar dan Prabowo memilih legowo menerima hasil kecurangan itu.
Tapi saat ini kecurangan yang dilakukan sudah amat sangat mengkhawatirkan sehingga tak bisa lagi dibiarkan.
"Kali ini skala kecurangannya luar biasa. Sebelum pilpres, pada saat pilpres dan setelah pilpres. Yang paling signifikan adalah daftar pemilih palsu yang jumlahnya 16,5 juta," kata Rizal di Hotel Grand Sahid, Jakarta Pusat, Selasa 14 Mei 2019
Menurut Rizal, Direktur Media BPN Prabowo Sandi, Hashim Djojohadikusumo sebenarnya sempat memprotes terkait temuan ini. Namun sayang apa yang disampaikan Hashim tidak dihiraukan.
"Mereka (KPU RI) tutup telinga, tutup mata, tetap mau ada 16,5 juta pemilih abal-abal. Karena kalau misalnya dimasukkan 10 orang ke 800 ribu TPS, udah 8 juta. Ditambahin 20 jadi 16 juta, pasti menang," ujarnya.
Pemberitaan mengenai kemenangan Jokowi saat ini, menurut Rizal sangat aneh. Sebab prestasi Jokowi terbilang tidak baik dan perekonomian juga melemah, namun mengapa Jokowi mendapatkan keterpilihan yang begitu tinggi seperti yang diberitakan.
"Kok bisa sekarang dirancang menang 50-68 persen. Daya beli masyarakat lemah, harga anjlok, umat Islam merasa tidak adil, kok bisa naik? Karena memang dirancang harus menang," kata Rizal
Yang tak kalah mengherankan adalah kesalahan input data yang dilakukan oleh KPU RI. Kesalahan tersebut seakan disengaja untuk memenangkan paslon 01.
"Kok bisa salah input? Komputer ada namanya front end. Kalau salah masukkan otomatis ditolak. Ada juga namanya back end. Nah ini yang bisa diubah-ubah. Misal 01 dapat sekian, ditambahkan. Misal 02 dapat sekian, dikurangin. Jadi kecurangan paling besar ada di back end komputer. Padahal kalau profesional, mereka izinkan, kita audit forensik," ujarnya.
Semestinya, apabila terdapat kecurangan dan mengabaikan satu suara saja, penyelenggara pemilu bisa dikenakan hukuman. Karena hal itu jelas tertulis dalam undang-undang.
"Ada Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 jika ada satu suara yang dihilangkan dengan sengaja, yang bersangkutan bisa kena hukuman penjara 4 tahun dan denda 48 juta. kecurangan ini belasan juta. Dikalikan 4 tahun, berapa tahun coba hukumannya?" ujarnya