Rizal Ramli: Pemimpin Jangan Ngotot Berkuasa
- ANTARA FOTO/Aprillio Akbar
VIVA - Rizal Ramli mengingatkan, bahwa pemimpin yang memiliki ambisi dalam melanggengkan kekuasaannya dengan cara curang, sesungguhnya sudah tak memiliki hati lagi pada rakyatnya. Sejatinya, para pemimpin sekarang ini harus belajar banyak dari para pendahulunya.
Rizal Ramli mencontohkan sikap bijaksana yang ditujukan Presiden RI ke-1, Soekarno, yang legowo mundur dari singgasana saat masyarakat telah terbelah antara yang pro dan kontra terhadap Sang Proklamator.
"Seandainya Bung Karno putuskan untuk melawan Soeharto waktu itu, Soekarno masih bisa menang loh, karena Angkatan Laut sama dia, Angkatan Udara sama dia, Angkatan Darat masih banyak yang loyal sama dia. Rakyat biasa juga banyak yang sangat loyal sama Bung Karno," kata Rizal Ramli, melalui keterangannya kepada VIVA, Minggu 12 Mei 2019.
Artinya, lanjut Rizal, kalau Bung Karno memerintahkan lawan Soeharto, maka dia tetap bisa bertahan. Tapi, karena Soekarno tahu jika mengambil keputusan itu, korban dari rakyat pasti banyak sekali maka akhirnya Bung Karno legowo.
"Ya dia akhirnya ditahan, ditangkap dan sebagainya," tukas mantan Menko Ekuin era pemerintahan Presiden RI ke-4, Abdurrahman Wahid alias Gus Dur itu.
Kemudian, sambung Rizal Ramli, Presiden RI ke-2, Soeharto di akhir masa kepemimpinannya-pun menyadari bahwa rakyat sudah tak lagi menghendakinya untuk berkuasa. Namun, memang kesadaran itu muncul saat terjadi huru hara di beberapa daerah, termasuk DKI Jakarta pada Mei 1998.
Meski berkuasa dan ABRI masih di bawah kendalinya, tapi Soeharto legowo untuk mundur.
"Soeharto waktu pulang dari Mesir, situasi di Indonesia sudah karut marut. Lalu, dia bertanya pada Wiranto yang kala itu menjabat sebagai Pangab soal situasi yang sudah chaos. Pak Wiranto memastikan kalau ABRI bisa all out, tapi korban dari rakyat banyak banget. Pak Harto-pun akhirnya memilih untuk mundur, dan situasi di Indonesia-pun kondusif," kata Rizal Ramli.
Kemudian, lanjut Rizal Ramli, sikap bijaksana dan negarawan juga ditunjukan oleh Presiden RI ke-3, BJ Habibie yang menyadari bahwa rakyat tak menghendakinya memimpin Indonesia, mengingat demonstrasi dari kalangan masyarakat saat ia memimpin seolah tak ada hentinya.
"Tapi, kalau dia ikut di pemilihan presiden, bisa-bisa dia menang. Sebagai petahana mungkin dia bisa menggunakan instrumen negara untuk melakukan curang sangat bisa. Tapi, dia tahu, habis itu dia akan didemonstrasi terus, dia juga gak bisa merintah yang bener, akhirnya kan Habibie mutuskan tidak mau maju jadi calon presiden," kata Rizal Ramli.
Begitu juga dengan Presiden RI ke-4, Abdurrahman Wahid alias Gus Dur. Kala itu, dikisahkan Rizal Ramli, mantan Ketua Umum PBNU tersebut diimpeach di DPR-MPR, sehingga membuat para Nahdliyin geram dan berencana bergerak ke Jakarta untuk mengamankan posisi Gus Dur.
"Tapi, dia (Gus Dur) yang nelpon NU di seluruh Indonesia, Banser, dan GP Ansor supaya jangan ngirim orang ke Jakarta. Tadinya udah pada mau bergerak dari Jawa Tengah dan Jawa Timur, tapi dia telpon karena dia gak mau korban berjatuhan dari rakyat," kata Rizal.
Sikap bijaksana seorang pemimpin, menurut Rizal Ramli, juga terlihat dari Presiden RI ke-5, Megawati Soekarnoputri yang fair dalam berkompetisi di Pilpres 2004.
"Mega sangat demokratis. Sebagai petahana, bisa saja Mbak Mega main curang di Pemilu 2004 dengan memanfaatkan kekuasaannya, yakni menggunakan instrumen negara seperti polisi dan pakai tentara. Kalaupun kalah, Mbak Mega kalah dengan terhormat," kata Rizal Ramli.
Jadi, Rizal Ramli kembali mengingatkan bahwa pemimpin Indonesia harus mengutamakan keinginan rakyat ketimbang memenuhi ego-nya.
 "Harusnya pemimpin hari ini belajar dari sejarah, jangan ngotot, jangan ngeyel, hanya sekedar mau kuasa, toh prestasinya pas-pasan dan ekonomi memble di 5 persen. Dari 5 pimpinan Indonesia sebelumnya, semua itu nrimo, bahwa ketika waktunya rakyat sudah gak mau mereka, mereka legowo mengundurkan diri, gak ngotot, karena mereka tahu korbannya rakyat." (mus)Â