DPR: Rupiah Menguat, Pemerintah dan BI Harus Tetap Antisipatif
VIVA – Ketua DPR RI Bambang Soesatyo mengingatkan pemerintah dan BI harus tetap antisipatif, kendati nilai tukar rupiah menguat sejak awal pekan ketiga November 2018. Pasalnya, nilai tukar valuta masih akan fluktuatif karena pasar uang terus dibayang-bayangi oleh rencana bank sentral Amerika Serikat, The Federal Reserve (Fed), menaikkan suku bunga acuannya, Fed Fun Rate (FFR) hingga tahun 2019 mendatang.
“Akhir pekan kedua November 2018, rupiah digambarkan sebagai valuta paling perkasa di Asia karena mengalami penguatan sampai 70 poin, atau 0,48 persen terhadap dolar AS. Pada Jumat (16/11/2018) lalu, nilai tukar rupiah sudah memasuki level Rp 14.595 dan Rp 14.665,” ungkap Bamsoet.
Ia mengatakan, proses penguatan nilai tukar rupiah saat ini tentu tak bisa dilepaskan dari langkah BI menaikkan bunga acuan sebesar 25 basis poin (bps) menjadi 6 persen, belum lama ini. Namun, proses penguatan rupiah saat ini diasumsikan temporer. Rupiah – dolar AS pada dasarnya belum menemukan keseimbangan baru, terutama karena The Fed masih akan menaikkan bunga acuan ke level 3,25 persen hingga 2019, dari posisi dua persen saat ini.
“Memang, proses penguatan rupiah saat ini berhasil menumbuhkan optimisme berbagai kalangan. Namun, nilai tukar valuta diperkirakan masih akan fluktuatif karena pasar masih terus mengantisipasi langkah-langkah The Fed berikutnya,” terang legislator Partai Golkar itu.
Karena itu, lanjutnya, pemerintah dan BI pun diharapkan selalu antisipatif menghadapi potensi gejolak nilai tukar di pasar uang. Diyakini, baik BI maupun pemerintah sudah menyiapkan langkah antisipatif guna meminimalisir potensi arus keluar dana asing (Capital outflow). Namun, jauh lebih penting adalah menyiapkan efektivitas strategi berkomunikasi dengan publik, agar depresiasi rupiah berikutnya dan capital outflow tidak menimbulkan kegelisahan publik.
“Ketika perekonomian global masih menghadapi ketidakpastian seperti sekarang ini, menjaga optimisme publik menjadi sangat penting. Selain adanya potensi gejolak nilai tukar valuta, perekonomian global terus diganggu oleh perang dagang AS versus Tiongkok. Apalagi, perang dagang bisa melebar jika AS juga membidik Jepang," tandas Bamsoet.