Hindari Provokasi, PDIP Siap Kerja Sama dengan NU dan Muhammadiyah
- VIVA/Syaefullah
VIVA – Menyikapi polemik pembakaran bendera yang disebut bendera HTI di Garut, Jawa Barat pada perayaan hari santri beberapa pekan lalu, Wakil Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan Ahmad Basarah mengatakan keluarga besar partainya siap bekerja sama dan mendukung penuh kesepakatan Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah dalam menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) berdasarkan Pancasila.
"Kami yakin kader Ansor, kader Banser tidak akan mungkin membakar kalimat tauhid yang menjadi rukun Islam pertama bagi umat Islam. Yang di bakar adalah bendera HTI sebagai ormas yang sudah resmi dibubarkan dan dilarang oleh Pengadilan," kata Basarah di Jakarta, Jumat 2 November 2018.
Wakil Ketua MPR RI ini menambahkan hadirnya bendera HTI di acara perayaan Hari Santri Nasional di Garut tersebut sebagai upaya provokasi. "Untuk menciptakan konflik horisontal di tengah-tengah masyarakat," ujarnya.
Atas dasar itu Basarah yang juga pimpinan Baitul Muslimin Indonesia (Bamusi) memastikan segenap kader PDIP siap bekerja sama dengan kader NU dan Muhammadiyah. Karena kerja sama dua organisasi besar ini sudah terjalin sejak lama dan bisa dilihat dengan jelas dalam bentang sejarah perjalanan bangsa Indonesia.Â
"PDI Perjuangan siap bekerja sama dengan seluruh keluarga besar Nahdlatul Ulama  dan Muhammadiyah di dalam menjaga Pancasila, NKRI, Konstitusi Negara dan Kebhinnekaan Indonesia," ujarnya.
Wakil Ketua Lazisnu PBNU ini menjelaskan kerja sama antara keluarga besar nasionalis dengan ormas NU dan Muhammadiyah sudah terjalin sejak lama dan bisa dilihat dengan jelas dalam bentang sejarah perjalanan bangsa Indonesia.Â
Dalam Resolusi Jihad Fii Sabilillah yang dikumandangkan pada 22 Oktober tahun 1945 oleh Kiai Haji Hasyim Asy'ari adalah bentuk nyata kontribusi ulama dan santri dalam menjaga keutuhan Indonesia. Hal serupa dilakukan Muhammadiyah di era kepemimpinan Ki Bagus Hadikusumo dengan mendirikan Markas Ulama Angkatan Perang Sabil (MU-APS) pada tahun 1948 untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia dari agresi militer Belanda.Â
"Terbitnya Keppres Hari Santri Nasional Nomor 22 Tahun 2015 merupakan bukti nyata bahwa negara mengakui peran dan kontribusi ulama dan santri dalam mempertahankan Indonesia. Hari Santri Nasional bukan hanya milik Nu dan Muhammadiyah semata, melainkan milik umat Islam Indonesia yang mencintai NKRI dan Pancasila," tegas Basarah.
Basarah mengungkapkan Bung Karno sebagai tokoh nasionalis dan Presiden Pertama republik Indonesia juga memiliki hubungan erat dengan tokoh-tokoh Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah. Sebagai contoh dalam munas alim ulama yang disponsori NU pada tahun 1954 memberikan gelar Waliyul Amri Bi dharuri Asy-Syaukah yang artinya pemimpin di masa darurat yang wajib ditaati perintahnya.Â
"Sejarah juga mencatat bahwa pendiri Muhammadiyah Kiai Haji Ahmad Dahlan adalah guru dari Bung Karno," ungkapnya.
Selain itu dalam Pancasila sebagai dasar negara telah final. Tidak ada lagi keraguan dalam NU dan Muhammadiyah. Pada Muktamar NU tahun 1984 di Situbonda, NU dengan tegas mengakui Pancasila sebagai asas tunggal. Sedangkan Muhammadiyah dalam Muktamar 47 di Makassar tahun 2015 menegaskan bahwa negara Pancasila sebagai Darul Ahdi Wa Syahadah artinya negara perjanjian dan tempat bersaksi.Â
"Terkait pembakaran bendera HTI di Garut, Jawa Barat pada saat puncak peringatan hari santri 22 Oktober 2018 sikap kita sejalan dengan Pemerintah bahwa HTI dan simbol-simbolnya telah secara resmi dilarang oleh keputusan negara melalui putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. PDI Perjuangan terus melakukan dialog dengan NU dan Muhammadiyah agar umat Islam tidak terprovokasi oleh berbagai upaya adu domba sesama umat Islam dan bangsa Indonesia," katanya.Â