5 Modus Penghamburan Uang Rakyat di DPR, Seperti Ini Caranya
- ANTARA FOTO/M Agung Rajasa
VIVA – Penghambur-hamburan uang rakyat di DPR sudah sedemikian parahnya. Ini yang memunculkan desakan perlunya gerakan "Bersih-bersih DPR" untuk mewujudkan lembaga wakil rakyat yang efektif, transparan, dan tidak lagi tercemar dari praktik korupsi.
Gerakan itu disampaikan oleh para calon anggota legislatif (Caleg) dari Partai Solidaritas Indonesia. Kepada para wartawan di Jakarta, Kamis 25 Oktober 2018, mereka mengungkapkan bagaimana para Wakil Rakyat selama ini menghambur-hamburkan anggaran. Berdasarkan pemberitaan media massa dan wawancara dengan sejumlah narasumber dari "dalam DPR" - termasuk mantan anggota - tim Caleg PSI itu mencatat sedikitnya ada lima modus.
"Salah satunya adalah pola pembiayaan lumpsum (pemberian sejumlah uang sekaligus di awal berdasarkan perhitungan tertentu) saat perjalanan dinas. Banyak anggota DPR bisa mengeruk untung dari biaya perjalanan, karena diduga mengakali biaya perjalanan dengan aneka cara," ujar Rian Ernest, salah satu caleg PSI.
Ini bisa dengan berbagai cara, seperti manipulasi hari perjalanan, manipulasi kelas transportasi dan penginapan, meminta maskapai penerbangan atau hotel memberikan tiket gratis, atau discount besar.
"Selain itu, meminta pihak di daerah yang dikunjungi atau KBRI menanggung semua biaya akomodasi selama anggota DPR menetap di daerah itu," lanjut Rian, yang berkompetisi jadi anggota DPR untuk Daerah Pemilihan (Dapil) DKI 1.
Caleg lain PSI, Milly Ratudian Purbasari, mengungkapkan bahwa masa reses dan kunjungan ke Dapil yang tidak transparan juga modus yang dilakukan legislator. Dia merujuk pada temuan BPK bahwa biaya kunjungan kerja (kunker) fiktif anggota dewan pada 2016 mencapai Rp945 miliar. Â
   Â
"Ini terjadi, karena beberapa hal. Salah satunya karena dana reses diberikan secara 'gelondongan'. Lalu, tidak ada transparansi dan akuntabilitas," kata Milly, yang jadi caleg DPR untuk Dapil Jawa Barat 2.
Modus lain terkait dengan tunjangan alat kelengkapan. PSI mencatat bahwa terdapat indikasi sebagian anggota DPR mengada-ada dengan membentuk "badan" tertentu untuk menambah penghasilan.
Selain itu, keterlibatan dalam alat kelengkapan yang "basah," seperti Badan Urusan Rumah Tangga, juga menjadi modus "aji mumpung" para Wakil Rakyat menghambur-hamburkan anggaran. Padahal, untuk urusan pengadaan barang, fungsi ini sebenarnya bisa dijalankan cukup oleh Sekretariat Jenderal DPR.
Sementara itu, caleg PSI Sigit Widodo, juga mengungkapkan praktik tercela yang tak kalah "mengerikan" adalah aliran dana siluman. Ini menyangkut aliran dana "stakeholders" dalam penyusunan dan pengawasan Rancangan Undang Undang (RUU).
Sigit menengarai bahwa sejumlah anggota DPR diduga menerima "suap" dari pihak-pihak yang berkepentingan dengan isi sebuah UU yang berdampak langsung pada keberlangsungan hidup mereka. "Maka inilah perlunya transparansi rapat-rapat di DPR, yaitu yang bisa diakses dan disaksikan oleh publik," kata Sigit, yang jadi caleg untuk Dapil Jawa Tengah.
Untuk memerangi modus-modus itu, tim caleg PSI menawarkan lima rekomendasi. Salah satunya adalah mendesak pemerintah merevisi Peraturan Pemerintah No.61/90 sehingga isinya sejalan dengan Peraturan Menteri Keuangan 113/2012. "Isi PMK itu adalah pertanggungjawaban biaya perjalanan harus berdasarkan biaya riil atau at cost, jangan lagi dikasih lumpsum," ujar Rian.
Selain itu, tim caleg PSI mendorong adanya mekanisme yang mewajibkan anggota DPR memberi laporan secara langsung dan laporan pertanggungjawaban reses dan kunker yang disampaikan kepada publik secara online.
"Kami pun menyerukan perubahan sistem penggajian anggota DPR menjadi single pay, bukan multi pay. Selain itu anggota DPR harus melepas fungsi teknis seperti BURT kepada Sekretariat Jenderal DPR," lanjut Milly.
Sedangkan Sigit, menyerukan transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi legislasi, pengawasan, dan penganggaran oleh DPR. "Ini perlu dilakukan secara online dengan sistem E-Parliament," kata Sigit.