Dampak Politik Uang, Hasilkan Pemimpin Tak Berkualitas
- VIVAnews/ Amal Nur Ngazis
VIVA - Politik uang atau money politics sangat berbahaya bagi demokrasi di Indonesia. Selain akan menghasilkan pemimpin dengan kualitas rendah, money politics juga akan melemahkan politisi dan institusi demokrasi itu sendiri.
"Di antara dampak terburuk dari praktik ini adalah politisi yang terpilih nantinya tidak lagi punya kualitas," kata ahli Perundang-undangan Fakultas Hukum Universitas Hukum Jember, Bayu Dwi Anggono, dalam diskusi yang digelar Jaringan Pemuda Peduli Demokrasi (JPPD) di Jakarta, Senin, 30 Juli 2018.
Menurut Bayu, politik uang dalam kontestasi pemilu di Indonesia sudah sangat luar biasa. Setidaknya, kata dia, ada lima model politik uang yang harus diantisipasi.
Pertama, transaksi antara elite pemilik modal dengan pasangan calon. Kedua, transaksi pasangan calon terhadap partai politik. Ketiga, transaksi pasangan calon terhadap penyelenggara-penyelenggara pemilu. Menurutnya, hal ini di antaranya ditandai dengan banyaknya penyelenggara pemilu yang dipecat oleh DKPP.
"Motif mereka bermacam-macam, mulai dari yang mengubah hasil suara, mendiskualifikasi agar menjadi calon tunggal, atau tidak merespons banyaknya pelanggaran atau kasus semisal money politics," ujarnya.
Kemudian, keempat, transaksi pasangan calon dengan pemilih, dan kelima, transaksi oknum kepala daerah dengan hakim konstitusi.
Pernyataan senada juga diungkapkan Direktur Perludem Titi Anggraini. Menurutnya, yang paling bahaya dan paling berat money politics imbasnya adalah kontribusinya yang melemahkan terhadap politisi dan institusi demokrasi.
"Money politics itu dapat meremehkan, selain kepada pemilih dan politisi, juga terhadap institusi demokrasi. Ini bahaya terhadap demokrasi kita ke depan," kata Titi dalam diskusi tersebut.
Oleh karenanya, menurut Titi, tidak boleh ada toleransi sedikitpun terhadap politik uang. Sekecil apapun, politik uang harus diusut tuntas.
"Tapi di sisi lain juga, penyelenggara Pemilu juga harus dibekali dengan mental yang kuat. Sebab jika tidak, mereka juga dikhawatirkan tidak bisa tahan terhadap godaan politik uang yang datang dari pihak-pihak yang berkepentingan," tuturnya.
Titi menyarankan agar paradigmanya harus diubah, tidak boleh ada toleransi terhadap politik uang meskipun hanya satu kasus.
"Jika ada satu kasus pun yang melibatkan calon dan terbukti di mata hukum, maka ia harus didiskualifikasi, ia harus dibatalkan. Jadi kalau kita memandang bahwa politik uang adalah kejahatan luar biasa maka itu harus dimulai dari sana," ujarnya.
Dia juga menegaskan bahwa ketentuan 50 persen plus satu untuk menjerat pelaku politik uang sebagai kategori terstruktur sistematis dan masif (TSM) harus dievaluasi. Sebab, aturan tersebut dapat menjadi celah bagi para politisi untuk melakukan politik uang.