Larang Pengurus Parpol Jadi Anggota DPD, MK Dinilai Politis
- ANTARAFOTO/FANNY OCTAVIANUS
VIVA - Wakil Ketua Komite I DPD, Benny Rhamdani, menilai putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 30/PUU-XVI/2018 yang menguji Pasal 182 huruf l Undang Undang No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, berbau politis dan terkandung target-target politik yang dibawa oknum-oknum tertentu.
Benny menjelaskan, hal itu tergambar dari putusan tersebut yang dikeluarkan MK saat menjelang masa akhir pendaftaran anggota DPD. Hal itu dianggapnya menghambat hak setiap warga negara untuk mencalonkan diri.
"Nah, ini putusan yang sangat cepat karena kami tahu persis juga MK sedang menangani banyak perkara, yang harusnya menjadi prioritas untuk diselesaikan. Kemudian putusan MK itu dikeluarkan saat last minutes, minus satu, di mana warga negara Indonesia yang mencalonkan diri ke DPD itu hanya tinggal satu hari ditetapkan oleh KPU secara finally, calon tetap," ujar Benny di Jakarta, Selasa 24 Juli 2018.
Benny juga menilai, putusan tersebut juga menjadi ancaman serius, sebab menghilangkan hak politik dari warga negara. Putusan itu berpotensi menimbulkan benturan keras dengan aturan-aturan yang sudah ada sebelumnya.
"Jadi tidak sekadar ancaman yang sangat berbahaya untuk menghilangkan hak politik warga negara yang diatur oleh UUD 1945 pasal 28 ayat 3 poin d, tapi juga putusan MK akan melahirkan benturan yang sangat keras dengan aturan yang sudah dikeluarkan oleh PKPU," tegasnya.
Karena itu, dia meyakini, putusan MK tersebut disusupi kepentingan politik oknum-oknum tertentu yang kemudian menetapkan target politik sesuai skenario politik mereka. Dia menyesalkan lembaga terhormat MK diisi dengan orang-orang yang punya kepentingan politik dan menyelundupkan kepentingan politiknya dalam putusan hukum yang terhormat tersebut.
"Ya tentu (target politik mereka) hanya untuk menjegal orang-orang yang hari ini ada di pengurusan partai, kemudian digagalkan untuk tidak maju ke DPD. Sementara jika pengurus partai tersebut memindahkan pencalonannya untuk ke DPR ini pun sudah sangat terkunci," tegasnya.
Lapor ke Dewan Etik MK
Benny menegaskan, akan melaporkan anggota-anggota Mahkamah Konstitusi ke Dewan Etik MK terkait Putusan Nomor 30/PUU-XVI/2018 yang menguji Pasal 182 huruf l Undang Undang No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
Dalam putusan tersebut, dikatakannya MK telah menafsirkan atas dasar selera politik dan secara sepihak terhadap pasal 128 UU No. 7 tersebut. Hal ini dianggapnya telah mencoreng kredibilitas dan kewibawaan putusan MK karena ceroboh dan keliru dalam membuat suatu putusan.
"Pasal ini secara frase hanya berbunyi mengenai pekerjaan lain. Dalam pemahaman kami pekerjaan lain yang tidak boleh merangkap sebagai calon DPD adalah pekerjaan yang karena keahliannya kemudian dia dibayar atau mendapatkan upah atas pekerjaannya. Misalnya dokter, advokat, maupun notaris. Nah kalau pengurus partai politik itu bukan pekerjaan," ujarnya.
Dia melanjutkan, pengurus partai politik tidak termasuk yang menerima upah atas pekerjaannya. Sebab dikatakannya, setiap orang yang ada di kepengurusan partai itu adalah pengabdian dan tidak ada pengurus partai yang dibayar oleh partainya ketika dia duduk dalam kepengurusan partai.
"Artinya MK telah menafsir dan melahirkan norma baru sesuai interpretasinya atas pasal 128. MK sebetulnya tidak boleh melahirkan norma baru, karena terkait norma itu menjadi kewenangan legislatif. Jadi MK telah keluar dari kewenangannya yang secara hukum disebut MK telah melakukan ultra petita, dia mengambil suatu keputusan di luar kewenangannya," kata dia.
Karena itu dia menegaskan, pihaknya akan melakukan komunikasi dengan berbagai pihak, seperti KPU dan Bawaslu, khususnya melakukan konsultasi kepada DPR untuk kemudian melaporkan MK atas putusannya tersebut kepada Dewan Etik MK. Serta, meminta DPR untuk mengambil sikap dan menjelaskan kepada publik dan MK apa yang dimaksud dalam pasal 128 tentang pekerjaan lain tersebut.
"Saya pikir ini menjadi momentum untuk publik melihat bahwa benar MK tidak diisi oleh para malaikat, sumber kebenaran yang sangat absolut. Tentu kami akan memcermati ini secara komprehensif, kami akan mempersiapkan DPD secara kelembagaan bersama dengan DPR, ada fraksi-fraksi di sana, untuk kemudian bisa melaporkan oknum-oknum MK ke Dewan Etik MK," tegasnya.
Dia juga menegaskan, upaya tersebut akan dilakukan karena putusan tersebut berpotensi untuk menjadi ancaman serius, berbahaya, dan akan memuncul kegaduhan politik yang sangat serius di republik ini terkait pemilu legislatif karena telah menghilangkan hak politik warga negara yang diatur oleh konstitusi.
"Kami menghormati apa yang dimaksud dengan putusan MK. Tetapi putusan ini secara waktu sangat tidak tepat, bahkan tahapan pemilu sudah berjalan, dan bahkan tercium aroma busuk ada kepentingan politik dari putusan ini. Di sinilah kami melakukan protes keras sebagai lembaga politik DPD," tutur Benny.
Sebelumnya, anggota DPD periode 2014-2019, Muhammad Hafidz, mengajukan uji materi terkait syarat menjadi anggota DPD yang diatur dalam pasal 182 huruf I UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. MK lantas memutuskan DPD tidak boleh diisi pengurus partai politik.
Pasal 182 huruf l UU Pemilu berbunyi: Perseorangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 181 dapat menjadi peserta pemilu setelah memenuhi persyaratan (l) bersedia untuk tidak berpraktik sebagai akuntan publik, advokat, notaris, pejabat pembuat akta tanah, dan/atau tidak melakukan pekerjaan penyedia barang dan jasa yang berhubungan dengan keuangan negara serta pekerjaan lain yang dapat menimbulkan konflik kepentingan dengan tugas, wewenang, dan hak sebagai anggota DPD sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.