Jokowi: Silakan Gugat Ambang Batas Presiden
- Istimewa
VIVA - Presiden Joko Widodo mengaku tak mempermasalahkan aturan ambang batas pencalonan Presiden (Presidential Threshold) sebesar 20 persen, kembali digugat ke Mahkamah Konstitusi. Aturan yang tercantum dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu itu digugat 12 tokoh dengan kuasa hukum mantan Wamenkum HAM Denny Indrayana, Rabu pekan lalu, 13 Juni 2018.
"Saya kira dipersilakan," ujar Jokowi di sela-sela meninjau pembangunan runway 3 Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang, Banten, Kamis, 21 Juni 2018.
Menurut Jokowi, upaya menggugat suatu aturan perundang-undangan melalui mekanisme uji materi ke MK merupakan prosedur yang dijamin konstitusi. Setiap kalangan di masyarakat memiliki hak untuk melakukan itu.
"Kita harus menghormati hukum," ujar Jokowi.
Sebelumnya, dua belas tokoh dari mantan Komisioner KPU hingga KPK menggugat syarat presidential threshold atau ambang batas pencalonan presiden ke Mahkamah Konstitusi. Mereka memiliki sembilan alasan.
Pertama, pasal 222 UU 7/2017 mengatur syarat capres dan karenanya bertentangan dengan Pasal 6A ayat (5) UUD 1945 yang hanya mendelegasikan pengaturan tata cara.
Kedua, pengaturan delegasi syarat capres ke UU ada pada Pasal 6 ayat (2) UUD 1945 dan tidak terkait pengusulan oleh parpol, sehingga pasal 222 UU 7/2017 yang mengatur syarat capres oleh parpol bertentangan dengan Pasal 6 ayat (2) UUD 1945.
Ketiga, pengusulan capres dilakukan oleh parpol peserta pemilu yang akan berlangsung bukan pemilu anggota DPR sebelumnya, sehingga pasal 222 UU 7/2017 bertentangan dengan Pasal 6A ayat (2) UUD 1945.
Keempat syarat pengusulan capres oleh parpol seharusnya adalah close legal policy bukan open legal policy, sehingga pasal 222 UU 7/2017 bertentangan dengan Pasal 6A ayat (2) UUD 1945.
Kelima penghitungan presidential threshold berdasarkan hasil Pemilu DPR sebelumnya adalah irasional dan karenanya pasal 222 UU 7/2017 bertentangan dengan pasal 6A ayat (2) UUD 1945.
Keenam, perhitungan presidential threshold berdasarkan hasil Pemilu DPR sebelumnya telah menghilangkan esensi pelaksanaan pemilu dan karenanya pasal 222 UU 7/2017 bertentangan dengan Pasal 22E ayat (1) dan (2) UUD 1945.
Ketujuh, presidential threshold menghilangkan esensi pemilihan presiden karena lebih berpotensi menghadirkan capres tunggal, sehingga bertentangan dengan pasal 6A ayat (1), (3), dan (4) UUD 1945.
Kedelapan, walaupun pasal 222 UU 7/2017 dianggap tidak langsung bertentangan dengan konstitusi, quod non, tetapi potensi pelanggaran konstitusi sekecil apapun yang disebabkan pasal tersebut harus diantisipasi Mahkamah Konstitusi, agar tidak muncul ketidakpastian hukum yang bertentangan dengan pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Kesembilan, Pasal 222 UU 7/2017 bukanlah constitutional engineering, tetapi justru adalah constitutional breaching, karena melanggar Pasal 6 ayat (2), Pasal 6A ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5), Pasal 22E ayat (1) dan (2), serta Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.