Wasekjen Gerindra Cabut karena Ucapan Fadli Zon soal Kiai NU
- VIVA/Nurcholis Anhari Lubis
VIVA – Mohammad Nuruzzaman memutuskan cabut atau mengundurkan diri dari jabatannya wakil sekretaris jenderal Partai Gerindra. Alasannya karena tak terima dengan komentar sang wakil ketua umum Fadli Zon tentang lawatan Yahya Cholil Staquf, petinggi Nahdlatul Ulama, ke Israel.
Nuruzzaman mengaku kader NU dia terang-terangan mengaku tersinggung dengan pernyataan Fadli Zon yang disebutnya telah menghina kiai NU.
“Pertimbangannya, saya ini kan kader NU, seharusnya Pak Fadli Zon itu tabayyun (klarifikasi) dulu. Kemudian bisa konfirmasilah. Dia pasti tahu saya, (mestinya bertanya dulu) apa benar atau tidak. Tanpa tabayyun kemudian berkomentar agak sinis, itu menurut saya kurang baik," kata Nuruzzaman saat dihubungi VIVA pada Selasa malam, 12 Juni 2018.
Dia mengklaim bukan hanya dirinya yang tersinggung atas komentar Fadli Zon, melainkan juga banyak warga NU se-Indonesia. “Artinya banyak sekali warga NU yang tersinggung. Nah, kalau partai politik cara bersikapnya seperti itu, kan, kurang baik. Nanti para pemilihnya kabur semua, gimana.”
Belakangan Ia sudah mulai tak sejalan lagi dengan Gerindra. Partai itu, menurutnya, telah menjadi corong kebencian yang menyuarakan kepentingan politis saja.
Mengenai kabar pengunduran dirinya, Nuruzzaman belum menghubungi langsung Prabowo. Alasannya, masih dalam masa libur Idul Fitri sehingga belum sempat untuk membicarakan hal itu secara langsung dengan Prabowo. “Saya juga lagi mudik lagi mantau posko mudik Banser," ujarnya.
Surat pengunduran diri
Mohammad Nuruzzaman mengumumkan pengunduran dirinya sebagai kader sekaligus wakil sekretaris jenderal Partai Gerindra pada Selasa, 12 Juni 2018. Teks surat terbuka itu menyebar melalui media sosial dan aplikasi percakapan Whatsapp. Berikut ini naskah selengkapnya.
Kepada Yth,
Bapak Prabowo Subianto
Ketua Umum DPP Partai Gerindra
yang saya banggakan
Dengan hormat,
Melalui surat ini saya akan sampaikan hal yang pribadi terkait posisi saya sebagai kader dan juga pandangan umum yang saya dapatkan ketika melakukan turlap yang berhubungan dengan isu dan hal strategis terkait Partai Gerindra.
Pertama, perlu saya sampaikan kepada Bapak bahwa saya bergabung dengan Gerindra pada medio 2014, tepat di masa pertarungan Pilpres. Dan saya berbangga hati bisa mengawal Bapak di perhelatan akbar Pilpres melawan Bapak Joko Widodo.
Hal utama dan terutama yang melatarbelakangi saya mendukung Bapak adalah jiwa kepedulian dan keberanian. Dua hal itu adalah napas saya untuk berjuang bersama Gerindra. Karena karakter kita sama maka saya merasa berada di rel perjuangan yang benar.
Saya juga pernah mencalonkan diri sebagai Caleg pada tahun yang sama, 2014 dan saya masuk di kepengurusan Partai Gerindra walau jarang diundang mengikuti rapat. Tidak terlalu masalah bagi saya karena selama Bapak yang pimpin saya pertaruhkan kepercayaan saya dan ikhtiar saya ke Gerindra.
Bahkan saya masih bangga walau Bapak kalah, tapi muka dan dada Bapak tidak menunjukkan kekalahan sebab Bapak adalah pemenang bagi saya.
Waktu pun berjalan. Partai Gerindra ternyata belok menjadi sebuah kendaraan kepentingan yang bukan lagi berkarakter pada kepedulian dan keberanian, tapi berubah menjadi mesin rapuh yang hanya mengejar KEPENTINGAN SAJA! Mark my words Pak Prabowo.
Manuver Gerindra yang sangat patriotik sekarang lebih menjadi corong kebencian yang mengamplifikasi kepentingan politis busuk yang hanya berkutat pada kepentingan saja, sama sekali hilang INDONESIA RAYA yang ada di dada setiap kader Gerindra.
Makin parah lagi, pengurus Gerindra makin liar ikut menari pada isu SARA di kampanye Pilkada DKI di mana saya merasa sangat berat untuk melangkah berjuang karena isi perjuangan Gerindra hanya untuk kepentingan elitnya saja sambil terus menerus menyerang penguasa dengan tanpa data yang akurat.
Isu SARA yang sudah melampaui batas dan meletakkan Jakarta sebagai kota paling intoleran adalah karena kontribusi elit Gerindra yang semua haus kekuasaan dunia saja, tanpa mau lagi peduli pada rakyat di mana Bapak harusnya berpijak.
Saya adalah santri yang berjuang berdasarkan platform kepedulian dan keberanian. Garis yang sama seperti saya kenal Bapak di awal yang kemudian saya kecewa karena Bapak sudah makin tuli untuk mendengar kami yang masih ingin berjuang demi Indonesia melalui Partai Gerindra.
Oleh sebab itu, saya sudah berfikir untuk mundur dari Gerindra pada Desember 2017 lalu karena kontibusi dan ketulusan saya berjuang bersama tidak pernah terakomodir. Sehingga, tinggal mencari momen yang tepat yang sesuai dengan premis awal saya di atas.
Hari ini, 12 Juni 2018, saya marah. Kemarahan saya memuncak karena hinaan saudara Fadli Zon kepada kiai saya, KH Yahya Cholil Staquf terkait acara di Israel yang diramaikan dan dibelokkan menjadi hal politis terkait isu ganti Presiden.
Bagi santri, penghinaan pada kiai adalah tentang harga diri dan marwah, sesuatu yang Pak Prabowo tidak pernah bisa paham karena Bapak lebih mementingkan hal politis saja.
Akhir kata, saya Mohammad Nuruzzaman, kader Gerindra hari ini mundur dari Partai Gerindra dan saya pastikan, saya akan berjuang untuk melawan Gerindra dan elit busuknya sampai kapan pun.
Semoga Bapak selalu sehat.
Cirebon, Selasa, 12 Juni 2018
Wallahul Muwafiq ila aqwamith Thariq
Wasalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Mohammad Nuruzzaman
Wakil Sekjen DPP Partai Gerindra