KPU Bersikukuh Eks Koruptor Tak Boleh Jadi Caleg

Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU), Arief Budiman (kanan)
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay

VIVA – Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU), Arief Budiman, menanggapi pernyataan Presiden Joko Widodo terkait mantan narapidana kasus korupsi atau koruptor yang maju sebagai calon legislatif dalam Pemilu.

Tak Ada Efek Jera Bagi Koruptor Kalau Dimaafkan, Yusril Singgung 'Otak Belanda'

Arief mengatakan dari pernyataan Presiden di media massa, Presiden Jokowi pada intinya menyampaikan dua poin. Pertama, ada opsi di surat suara nanti diberitanda khusus yang mantan koruptor. Kemudian, poin kedua, Presiden mengatakan bahwa ini adalah kewenangan KPU.

"Silakan KPU kemudian menelaah dan mengaturnya," kata Arief di gedung KPU RI, Jakarta, Rabu 30 Mei 2018.

Prabowo Mau Maafkan Koruptor jika Kembalikan Uang Negara, Yusril Beri Penjelasan Hukumnya

Menurut Arief, pesan penting dari pernyataan Presiden Jokowi adalah semua komponen bangsa ini peduli terhadap calon legislatif yang akan menjadi wakil rakyat di gedung DPR. Perdebatan boleh tidaknya mantan napi koruptor jadi calon anggota legislatif menunjukkan diskusi tentang hal ini menjadi perhatian semua komponen bangsa.

"Dan sepanjang yang saya pahami dari semua perdebatan itu, semua setuju substansinya bahwa harus ada perlakuan khusus terhadap calon yang pernah terlibat tindak pidana korupsi. Hanya caranya saja, masing masing pihak itu sepakat sepaham dengan KPU," ujarnya.

Respon Ketua KPK Soal Prabowo Bakal Maafkan Koruptor Jika Kembalikan Uang Korupsi

Terlepas dari perdebatan itu, Arief menegaskan KPU bersikukuh tetap membuat Peraturan KPU (PKPU) yang melarang mantan napi koruptor untuk ikut pemilihan legislatif. Ia memahami munculnya pro kontra dari langkah tersebut.

Tentunya, semua catatan dan masukan dari berbagai pihak akan menjadi perhatian KPU. Bahkan beberapa catatan tersebut akan dimasukkan dalam Peraturan KPU (PKPU).

"Tentu dengan berbagai pertimbangan dengan bijaksana dan biarkan kami mengambil keputusan itu sendiri," kata Arief.

Arief belum bersedia mengungkapkan mengenai revisi atau catatan apa yang akan diadopsi ke dalam PKPU yang menjadi polemik hingga hari ini. Menurutnya hal tersebut baru akan diungkapkan setelah draf PKPU final da diserahkan ke Kemenkum HAM.

"Keputusannya nanti ketika kami menyerahkan ke Kementerian Hukum dan HAM. Nanti kawan-kawan akan bisa menyimpulkan. Apakah yang direncanakan KPU tetap seperti yang semula atau ada perubahan, atau penyesuaian. Nanti setelah kita kirim ke Kemenkum HAM," paparnya.

Kantor Pusat Komisi Pemilihan Umum.
 
Mengenai kapan draf PKPU tersebut akan difinalisasi dan diserahkan ke Kemkumham, Arief juga belum bisa memastikan. Meskipun ia memahami draf PKPU tersebut sangat dinanti banyak pihak.

"Target kami sebetulnya finalisasi selesai hari ini. Maka hari ini kami bisa kirimkan Tapi KPU kan tiap hari kerjanya bertumpuk. Kalau belum selesai hari ini target kami minggu ini sudah kami kirimkan ke Kemenkum HAM. Partai juga sudah menunggu, Kandidat juga sudah menunggu. Regulasi ini harus segera diselesaikan agar menjadi pedoman," tegasnya.

Sebelumnya, Presiden Joko Widodo mengemukakan menjadi calon legislatif adalah hak seseorang dalam berpolitik. Hal itu dikemukakan Jokowi menanggapi Komisi Pemilihan Umum yang bersikeras memuat larangan mantan napi koruptor menjadi caleg, dalam peraturannya.

"Ya itu hak ya. Itu konstitusi memberikan hak. Tapi silakanlah KPU menelaah. Kalau saya itu hak. Hak seseorang untuk berpolitik," kata Jokowi di Uhamka, Jakarta, Selasa, 29 Mei 2018.

Meski begitu, ia menambahkan, KPU bisa saja membuat aturan larangan mantan napi menjadi caleg. Ia pun memberikan alternatif lainnya, misalnya mantan napi koruptor boleh menjadi caleg tapi diberi tanda sebagai mantan koruptor.

"KPU bisa saja mungkin membuat aturan. Misalnya boleh ikut tapi diberi tanda mantan koruptor," kata Jokowi.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya