Fadli Zon: Perpres BPIP Cacat Serius
- ANTARA FOTO/Rosa Panggabean
VIVA – Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) menjadi sorotan karena kontroversi nominal gaji Ketua dan Anggota Dewan Pengarah setinggi langit.
Megawati Soekarnoputri sebagai Ketua Dewan Pengarah BPIP, mendapat gaji sebesar Rp112.548.000 tiap bulan. Anggotanya masing-masing Rp100.811.000.
Sementara, Kepala BPIP mendapatkan gaji Rp76.500.000, Wakil Kepala BPIP Rp63.750.000, Deputi BPIP Rp51.000.000, Staf Khusus Rp36.500.000. Nominal gaji ini tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 42 Tahun 2018.
Wakil Ketua DPR Fadli Zon menyebut ada empat cacat dalam Perpres Nomor 42 Tahun 2018 yang diteken Presiden Joko Widodo sepekan lalu itu.
“Dalam catatan saya, setidaknya ada empat cacat serius yang terkandung dalam Perpres tersebut. Pertama, dari sisi logika manajemen. Di lembaga manapun, baik di pemerintahan maupun swasta, gaji direksi atau eksekutif itu pasti selalu lebih besar daripada gaji komisaris," kata Fadli dalam pesan singkatnya, Senin, 22 Mei 2018.
Menurut dia, meski komisaris adalah wakil pemegang saham, namun masih kalah dari gaji direksi suatu lembaga perusahaan. Namun, dalam lembaga BPIP ini justru terbalik dan dinilai aneh.
"Nah, struktur gaji di BPIP ini menurut saya aneh. Bagaimana bisa gaji ketua dewan pengarahnya lebih besar dari gaji kepala badannya sendiri? Dari mana modelnya?” sebut Fadli.
Lihat Daftar Gaji Fantastis Dewan Pengarah BPIP, Mega Rp112 Juta
Kemudian, kedua terkait dari sisi etis. Ia mengingatkan bahwa BPIP bukan lembaga atau perusahaan Badan Usaha Milik Negara yang bisa menghasilkan laba. Gaji Ketua Dewan Pengarah BPIP mengalahkan presiden sebagai kepala negara hingga menteri yang tugasnya berat membantu presiden.
"Ini adalah lembaga non-struktural, kerjanya ad hoc, tapi kenapa kok standar gajinya bisa setinggi langit begitu? Coba Anda bayangkan, gaji presiden, wakil presiden, menteri, dan pimpinan lembaga tinggi negara yang tanggung jawabnya lebih besar saja tidak sebesar itu,” jelasnya.
Pelantikan anggota dewan pengarah UKP PIP yang sekarang menjadi BPIP.
Lalu, catatan ketiga yaitu terkait masalah anggaran dan reformasi birokrasi. Menurutnya, Jokowi sering bicara mengenai pentingnya efisiensi anggaran dan reformasi birokrasi.
Fadli menyebut, dalam kurun 2014-2017, ada 23 lembaga non struktural (LNS) berupa badan maupun komisi yang dibubarkan pemerintah seperti Dewan Buku Nasional, Komisi Hukum Nasional, Badan Benih Nasional, hingga Badan Pengendalian Bimbingan Massal (Bimas).
"Tapi, pada saat bersamaan, Presiden justru malah terus menambah lembaga non struktural baru,” ujar Fadli.
Fadli menguraikan sejak menjabat Presiden, Jokowi meneken berbagai perpres terkait lembaga non struktural baru, seperti Kantor Staf Kepresidenan (KSP), Komite Ekonomi Industri Nasional (KEIN).
"Jumlahnya memang hanya 9, tapi Anda bisa menghitung betapa mahalnya ongkos operasional lembaga-lembaga non-struktural baru yang dibikin Presiden Joko Widodo jika standar gaji pegawainya dibikin tak masuk akal begitu,” jelasnya.
Baca: Pimpin BPIP, Megawati Laporan ke Jokowi
Selanjutnya, catatan keempat terkait dari sisi tata kelembagaan. Kecenderungan Jokowi untuk membuat lembaga baru setingkat kementerian seharusnya disetop. Sebab, hal ini menurutnya bisa overlap dan menimbulkan bentrokan dengan lembaga-lembaga yang telah ada.
Fadli mencontohkan berulangkalinya Kepala Staf Presiden Moeldoko yang menyebut soal penghidupan kembali Komando Operasi Gabungan (Koopssusgab) TNI untuk menangani terorisme.
"Bukankah aneh jika Kepala KSP sangat dominan dalam mewacanakan hal-hal semacam itu, padahal itu adalah wilayah pertahanan dan keamanan di mana kita sudah punya Menteri Pertahanan dan juga Menko Polhukam di situ?" tuturnya. (ase)