Logo BBC

Suharto Dibenci, Suharto Dirindukan

Raja Norodom Sihanouk (kanan) bersama Presiden Suharto di Jakarta beberapa waktu lampau semasa mereka hidup.
Raja Norodom Sihanouk (kanan) bersama Presiden Suharto di Jakarta beberapa waktu lampau semasa mereka hidup.
Sumber :
  • REUTERS/Enny Nuraheni/Files

Dua puluh tahun setelah Suharto dipaksa turun dari kursi kekuasaan, Bedjo Untung, kini berusia 70 tahun, terus bersuara lantang menuntut agar pemerintah menuntaskan tragedi 1965.

Bersama Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan 1965/1966, Bedjo Untung - yang dihukum penjara selama sembilan tahun, plus siksaan, tanpa melalui proses peradilan oleh Rezim Orde Baru - berkampanye terus-menerus agar tragedi itu diselesaikan melalui proses hukum.


Tuntutan agar pemerintah mengungkap kasus pembunuhan massal terhadap orang-orang yang dituduh simpatisan atau anggota PKI telah disuarakan secara terbuka sejak berakhirnya rezim Orde Baru pada 1998. - AFP

Namun usahanya itu belum juga membuahkan hasil. Walaupun sudah menjadi sudah agenda reformasi, tuntutan peradilan HAM atas tragedi itu hilang disapu waktu, sementara penyelesaian secara rekonsiliasi tak juga menemukan bentuknya.

"Reformasi 1998 mengalami kegagalan," pekik Bedjo Untung, agak kesal, menanggapi belum diselesaikannya juga tragedi 1965 yang mengakibatkan lebih dari 500 ribu orang yang dikategorikan "kiri" saat itu dibunuh dan dibuang ke Pulau Buru.

Usianya Bedjo Untung belum genap 17 tahun ketika kasus pelanggaran hak asasi manusia dalam tragedi 1965 itu terjadi.

Ketika itu, keluarganya menjadi berantakan, ketika ayahnya dicap anggota Partai Komunis Indonesia, PKI, dan dibuang ke Pulau Buru, tanpa diadili, bersama ribuan orang-orang senasib seperti ayahnya.

Bedjo Untung kemudian dikejar-kejar oleh aparat Orde Baru, sebelum akhirnya tertangkap lima tahun kemudian.

"Masa muda saya hilang percuma," kata Bedjo. Dia kemudian dihukum penjara selama sembilan tahun, plus siksaan, tanpa melalui proses peradilan. "Dan saya tidak tahu berapa lama di dalam tahanan."

Meskipun akhirnya dia dibebaskan pada 1976, pria kelahiran 14 Maret 1948 ini menyatakan, tidak dapat memaafkan Presiden Suharto, yang dianggapnya bertanggungjawab atas tragedi 1965 tersebut.

"Itulah kejahatan paling besar terhadap kami para korban. Ini yang belum dipertanggungjawabkan," katanya.