Giliran PB PMII Tolak UU MD3
- ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja
VIVA – Penolakan terhadap Undang-undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (UU MD3) tak pernah surut. Sejumlah kalangan terus melakukan gugatan terhadap pasal yang dianggap menguatkan posisi DPR, tak terkecuali aktivis Pengurus Besar Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PB PMII).
Ketua Umum PB PMII, Agus M Herlambang pun menolak tegas hasil revisi UU MD3. Menurutnya, UU MD3 bertolak belakang dengan hakikat sistem pemerintahan demokrasi.
"Negara demokrasi sangat memberi kebebasan kepada rakyatnya untuk memberikan kritikan kepada para wakilnya. Di negara demokrasi juga tidak boleh ada kekebalan hukum, semua sama di mata hukum," ujar Agus dalam keterangan tertulisnya, Sabtu 24 Februari 2018.
Terkait penolakan ini, Agus mengatakan pihaknya akan menempuh dua jalur. Pertama, PB PMII akan membentuk tim hukum melalui LBH PB PMII untuk mengajukan pasal-pasal kontroversial terkait UU MD3 ke Mahkamah Konstitusi dalam waktu dekat.
Kedua, ia akan mengintruksikan seluruh kader PMII yang ada di seluruh Provinsi dan Kabupaten/Kota untuk turun aksi di daerah masing-masing guna menolak hasil revisi UU MD3 dan meminta Presiden mengeluarkan Perppu UU MD3.
"Dalam waktu dekat akan ada aksi oleh kader PMII di seluruh Provinsi dan Kabupaten/Kota untuk menolak hasil revisi UU MD3. Kami sudah menginstruksikan para Penguus Cabang dan Pengurus Koordinator Cabang," tegasnya.
Ketua Bidang Politik, Advokasi dan Kebijakan Publik PB PMII, M. Zeni Syargawi menegaskan, revisi UU MD3 jelas mendapat penolakan dari sejumlah kelompok masyarakat.
“Mendapat penolakan dari berbagai kalangan, karena dianggap ada kejanggalan. Seperti imunitas yang berlebihan, anti kritik dan lain-lain,” ujar aktivis asal Medan, Sumatera Utara ini.
Ketua LBH PB PMII La Radi Eno juga menegaskan bahwa atas perintah ketua umum, pihaknya akan segera mendaftarkan gugatan uji UU MD3 tersebut di Mahkamah Konstitusi.
"UU MD3 ini menakutkan rakyat untuk memberikan kritikan pada anggota DPR. Selain itu, anggota DPR juga akan kebal hukum. Sebab tidak bisa diperiksa jika tidak ada persetujuan dari Presiden setelah mendapat pertimbangan Mahkamah Kohormatan Dewan (MKD)," kata La Radi.