Tradisi 'Pengadilan Jalanan' Kalahkan Eksekusi Mati

Ilustrasi BNN ringkus bandar narkoba.
Sumber :
  • VIVA.co.id/Ifan Gusti

VIVA – Sebanyak 79 orang tewas oleh Badan Narkotika Nasional (BNN). Seluruhnya ditembak peluru dengan alasan melawan petugas saat operasi narkoba sepanjang tahun 2017.

"Akibat melakukan perlawanan saat penindakan," ujar Kepala BNN Komjen Budi Waseso menyampaikan capaian hasil lembaganya, Rabu, 27 Desember 2017.

Polri Rilis Liquid Narkoba

Selama tahun itu, Budi kemudian menyebut ada 4,71 ton sabu-sabu yang berhasil diamankan, lalu 151,22 ton ganja dan lebih dari 2,94 juta pil ekstasi.

Jumlah bandar atau pun pengedar narkoba yang harus mati dengan gaya 'pengadilan jalanan' ala BNN tahun ini benar-benar melonjak tajam.

Angkanya melompati sampai empat kali lipatnya jumlah eksekusi mati secara resmi oleh pemerintah pada tahun 2015-2016, yang hanya 18 orang.

Kepala BNN, Komjen Budi Waseso (baju biru)

"Sebenarnya amunisi kita cukup sampai 58 ribu (pelaku). Kita harap (pelaku) melawan, kalau enggak ini amunisi enggak kepake-kepake," kata Budi dengan nada berseloroh.

Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS) pernah mengkritik aksi eksekusi jalanan BNN sebelumnya. Dari data mereka, setidaknya selama September 2016 sampai September 2017, tercatat ada 106 bandar narkoba yang ditembak mati.

"Bandar narkotika 41 orang, pengedar 34 orang, kurir 19 orang, dan pemakai 19 orang," Wakil Koordinator Bidang Advokasi KontraS Putri Kanesia.

Atas itu, kata Putri, dengan banyaknya eksekusi mati non-pengadilan itu, membuktikan bahwa negara seperti membiarkan ada warganya yang mati tanpa harus melalui pengadilan yang jelas.

"Kita tidak pernah tahu derajat keterlibatan mereka seperti apa ketika dieksekusi mati. Artinya, negara membenarkan proses pembunuhan di luar proses," kata Putri, Selasa, 10 Oktober 2017.

Pendekatan Kematian

Petugas bersenjata berjaga di area dermaga penyeberangan Wijayapura, Cilacap, Jateng, Senin (25/7/2016). Tahun ini dikabarkan ada 16 orang yang akan dieksekusi mati.

Geliat eksekusi mati di Indonesia memang menakutkan. KontraS mencatat, sejak Januari hingga September 2017, setidaknya telah ada 32 vonis mati yang dijatuhkan.

Dua Kurir 10 Kg Sabu-sabu dan 18 Ribu Pil Ekstasi Divonis Mati oleh Hakim PN Medan

Dari jumlah itu, 22 di antaranya adalah vonis mati untuk mereka yang tersangkut kasus narkoba sementara sisanya adalah kasus lain.

Dari total vonis itu, diketahui 28 kasus diputus di Pengadilan Negeri dan sisanya empat kasus di Pengadilan Tinggi. Bagi KontraS, angka itu memang mengerikan. Belum ditambah dengan total mereka yang telah ditembak mati dengan tanpa proses pengadilan yang setidaknya kini telah mencapai 106 orang sepanjang September 2016 hingga September 2017.

Prancis Minta Warganya yang Divonis Hukuman Mati Serge Atlaoui Dipindahkan dari Indonesia

Ricuh Napi Nusakambangan

Sekaligus mengindikasikan ketidakpedulian pemerintah bahwa eksekusi mati belum tentu menjawab persoalan. "Majelis hakim tak belajar dari kesalahan pemerintah (dalam kasus eksekusi mati)" ujar Putri.

Panca Darmansyah Divonis Mati, Tak Ada Hal Meringakan dari Ayah Pembunuh 4 Anak Kandung

Beberapa waktu lalu, sebuah jurnal ilmiah terkemuka Inggris, The Lancet, pernah menyampaikan surat terbukanya untuk Indonesia soal eksekusi mati.

Riset yang dilakukan sejumlah peneliti, menunjukkan bahwa hukuman mati terbukti tidak efektif di berbagai negara untuk melawan peredaran narkotika.

Ilustrasi-Bandar narkoba tewas.

"Pendekatan perang melawan narkotika, telah terbukti gagal di berbagai negara lain di dunia. Bahkan menyebabkan lebih banyak masalah dibandingkan membantu menyelesaikan masalah," ujar seorang penulis jurnal The Lancet yang juga Peneliti dan pengamat senior di Pusat Penelitian HIV/AIDS Unika Atma Jaya Irwanto.

Menurut Irwanto, idealnya pemerintah memperhatikan keberhasilan sejumlah program berbasis kesehatan yang telah dilakukan sejak tahun 2000. Dimana, seluruh program itu telah memberikan hasil positif yang bisa menjadi rujukan penanganan narkoba.

Namun demikian, sayangnya keberhasilan itu justru tak diberi ruang sebagai pertimbangan. "Dana kita yang terbatas justru digunakan untuk pendekatan berbasis rasa takut yang akan mendorong orang-orang yang membutuhkan rawatan semakin jauh dari program kesehatan,” tambah peneliti dari Pusat Kebijakan Manajemen Kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada Ignatius Praptoraharjo.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya