Jaksa KPK: Surat Dakwaan Setya Novanto Sesuai Aturan
- ANTARA FOTO/Wahyu Putro
VIVA – Jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengklaim telah memenuhi syarat material dalam menyusun surat dakwaan Setya Novanto. Sebab, pada dakwaan tersebut telah dijelaskan secara tegas mengenai locus delicti atau waktu kejadian dan tempus delicti atau tempat kejadian yang didakwakan kepada Novanto, sebagaimana pasal 143 ayat 2 huruf b KUHP.
Jaksa Wawan Yunarwanto mengatakan, tim penuntut umum juga telah menyebutkan tindak pidana apa yang didakwakan, siapa yang melakukan itu dan bagaimana cara tindak pidana dilakukan.
Kemudian juga soal akibat yang ditimbulkan atas tindak pidana oleh terdakwa, serta ketentuan-ketentuan tindak pidana yang diterapkan.
"Komponen-komponen di atas secara kasuistik sudah disesuaikan dengan jenis tindak pidana yang didakwakan," kata Jaksa Wawan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jalan Bungur Raya, kemayoran Besar, Jakarta Pusat, Kamis, 28 Desember 2017.
Selain itu, kata Jaksa Wawan, terdakwa telah mengerti dakwaan yang telah disusun oleh tim JPU. Hal itu menandakan bahwa dakwaan memenuhi syarat formil, yakni mudah dimengerti oleh terdakwa.
"Terlihat surat dakwaan yang disusun oleh penuntut umum telah memenuhi persyaratan baik formil maupun materiil sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan," ujar Jaksa Wawan.
Jaksa KPK juga merespon eksepsi kubu Setya Novanto yang menyinggung soal dugaan penerimaan uang proyek e-KTP. Menurut Jaksa Abdul Basir, dugaan penerimaan uang terhadap mantan Ketua Fraksi Partai golkar itu sudah masuk materi pokok kasus tersbeut, sehingga harus dibuktikan dalam persidangan selanjutnya.
"Kami tak akan menanggapinya karena sudah masuk ke dalam pokok perkara. Apalagi fakta-fakta tersebut telah dipertimbangkan secara benderang dalam putusan Andi Narogong," kata Jaksa Basir.
Dalam eksepsi yang dibacakan oleh tim penasihat hukum Novanto, mempertanyakan soal penerima uang sebesar US$7,3 juta terkait kasus ini. Menurut tim penasihat hukum, hal tersebut tidak sesuai fakta-fakta yang muncul dalam persidangan e-KTP dengan terdakwa lainnya.
Selain itu, penasihat hukum juga beranggapan mengenai pengaturan distrisbusi fee-fee kepada anggota DPR tidak berkaitan dengan Novanto.
Tim PH Novanto juga menyebut penerimaan jam tangan Richard Mile dari Andi Agustinus kepada kliennya tidak sesuai fakta dan bukti. Bahkan perusahaan milik keluarga terdakwa Novanto yakni PT Murakabi Sejahtera dianggap tidak berkaitan dengan kasus ini.
"Terkait PT Murakabi Sejahtera memiliki relevansi atau tidak, apakah terdakwa menerima sejumlah uang atau tidak, tidak akan kami tanggapi karena masuk ke dalam materi pokok perkara," kata Jaksa Basir.
Kewenangan BPKP
Sementara itu, terkait penasihat hukum terdakwa Setya Novanto yang sebelumnya menyinggung kewenangan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dalam surat keberatan atau eksepsinya. Kubu Ketua DPR itu menyebut penghitungan kerugian negara oleh BPKP terkait kasus e-KTP tidak sah, sebab kewenangan itu ada pada BPK RI.
Untuk masalah tersebut, Jaksa KPK menyatakan tidak akan terlalu jauh menangapinya. Pasalnya semua telah tertuang di dalam regulasi yang mengatur hal ini.
"Kewenangan BPKP dalam menghitung kerugian negara, penuntut umum tak akan memberikan tanggapan secara panjang lebar, karena kewenangan BPKP untuk itu telah diatur secara tegas dalam Perpres No 192 Tahun 2014," kata Jaksa Wawan.
Menurut Jaksa Wawan, apa yang tertuang dalam Pasal 3 hurub b Perpres tersebut sudah sejalan dengan putusan MK No 3/PUU?-X/2012 tanggal 23 Oktober 2012.
"Salah satu pertimbangannya adalah 'KPK bukan hanya dapat berkoordinasi dengan BPKP dan BPK dalam rangka pembuktian suatu tindk pidana korupsi, melainkan dapat juga berkoordinasi dengan instansi lain, bahkan bisa membuktikan sendiri di luar temuan BPKP dna BPKP," terang jaksa.
Diketahui dalam Pasal 3 huruf b Perpres No 192 Tahun 2014, disebutkan kewenangan BPKP di antaranya audit investigatif terhadap kasus-kasus penyimpangan yang berindikasi merugikan keuangan negara/daerah, audit penghitungan kerugian keuangan negara/daerah, dan pemberian keterangan ahli, serta upaya pencegahan korupsi.
Dalam perkara ini, Setya Novanto didakwa melakukan atau turut serta melakukan korupsi proyek e-KTP 2011 dengan cara mengintervensi panitia dan peserta lelang proyek itu. Alhasil, negara mengalami kerugian sekitar Rp2,3 triliun.