Masih Bahaya, Kenapa Jokowi Cabut Status Gunung Agung?
- ANTARA Foto/Fikri Yusuf
VIVA – Presiden Joko Widodo secara resmi mencabut status tanggap darurat Gunung Agung, Bali. Keputusan itu diambil melalui mekanisme rapat terbatas yang digelar di Wisma Werdhapura Sanur, Denpasar, Jumat malam, 22 Desember 2017.
Menanggapi pencabutan status tanggap darurat, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) tak mempersoalkan hal tersebut sepanjang teknis penanganan pengungsi Gunung Agung dapat tertangani dengan baik.
Kepala Pusat Data dan Hubungan Masyarakat BNPB, Sutopo Purwo Nugroho menjelaskan, hingga kini Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) masih menetapkan Gunung Agung berada di level IV atau awas.
"Itu kata kunci dan dasarnya dalam penanganan bencana. Status Gunung Agung awas ini berlaku di dalam radius 8-10 kilometer dari puncak kawah. Di luar itu aman. Bali aman," kata Sutopo, Sabtu, 23 Desember 2017.
Soal status tanggap darurat, dalam penanggulangan bencana, keadaan atau status darurat, baik itu siaga darurat, tanggap darurat ataupun transisi darurat menuju pemulihan, sesungguhnya hanyalah administrasi belaka. "Administrasi yang diperlukan agar ada kemudahan akses, baik pengerahan SDM, dana dan logistik saat terjadi bencana," jelasnya.
Status keadaan darurat yang ditetapkan kepala daerah, Sutopo melanjutkan, pada dasarnya hanya syarat administrasi untuk memudahkan penanganan bencana. "Bencana harus ditangani cepat dan tepat, maka memerlukan diskresi atau aturan-aturan yang memudahkan penanganan," kata Sutopo.
Dengan adanya pernyataan darurat dari kepala daerah yang daerahnya mengalami bencana, maka BNPB secara legal dapat memberikan bantuan Dana Siap Pakai (DSP) ke pemda. Kemensos dapat mengeluarkan bantuan cadangan beras di gudang jika ada status tanggap darurat.
“Agar pemda dapat menggunakan dana Belanja Tak Terduga (BTT) jika sudah ada status tanggap darurat. Itu semua diatur dalam regulasi agar tidak ada masalah atau temuan nanti. Surat pernyataan status tanggap darurat dari kepala daerah itu diperlukan guna kemudahan akses tadi," terang dia.
Salah Paham
Bagi sebagian pihak yang belum paham pengelolaan bencana, pengertian tanggap darurat atau darurat adalah keadaan yan menunjukkan terjadinya krisis, chaos, genting dan tidak nyaman. Ia mencontohkan kata darurat dengan pengertian tersebut seperti status darurat sipil atau darurat militer.
Bagi negara-negara asing yang jarang terjadi bencana, yang dipikirkan dengan penggunaan kata tanggap darurat sama halnya bermakna terjadinya kondisi genting dan akan dapat membahayakan warganya jika berkunjung ke Bali.
"Pemahaman yang salah seolah-olah Bali tidak aman akibat awas dan erupsi Gunung Agung itu banyak terjadi di masyarakat luar. Informasi yang berlebihan dan hoaks yang bermunculan menyebabkan beberapa negara mengeluarkan travel warning," papar Sutopo.
Terbatasnya informasi kondisi yang sebenarnya tentang erupsi Gunung Agung dan dampaknya, khususnya ke masyarakat internasional menyebabkan seolah-olah Bali tidak aman. "Akhirnya banyak negara mendefinisikan kata darurat bencana dengan pengertian darurat yang mengerikan. Banyak negara lain yang belum paham soal definisi dan arti darurat bencana," ujar dia.
Atas dasar itulah, kata Sutopo, presiden meminta mencabut status tanggap darurat bencana Gunung Agung. "Sebagai pengganti atau dasar hukum agar pemerintah dan pemda dapat kemudahan akses akan dituangkan dalam Peraturan Presiden (Perpres) sebagai payung hukum untuk membantu penanganan pengungsi Gunung Agung," tegas dia.
"Penggunaan darurat bencana di daerah lain di Indonesia selama ini tidak pernah ada masalah. Namun karena ini di Bali yang dimaknai lain oleh banyak pihak dengan arti yang lain, diksi darurat menjadi sensitif."
"Makanya perlu diganti dengan istilah lain. Menurut saya tidak masalah. Toh, ini hanya untuk kepentingan administrasi penggunaan anggaran dan logistik saja. Yang penting pemerintah masih akan terus membantu penanganan pengungsi," tambah Sutopo.
Selanjutnya>>> Masih bahaya
Masih Berbahaya
Meski status tanggap darurat telah dicabut, Sutopo tetap mengimbau masyarakat dalam radius 8-10 kilometer dari puncak kawah Gunung Agung harus tetap mengungsi.
"Tidak boleh kembali ke rumahnya. Gunung Agung juga masih berbahaya. Patokannya tetap rekomendasi PVMBG," pinta dia.
Di sisi lain, Sutopo menjelaskan jika kerugian ekonomi Bali memang luar biasa akibat bencana erupsi Gunung Agung. "Melebihi siklon Cempaka menerjang Jawa. Sampai saat ini masih ada lima negara menetapkan travel warning ke Bali," tuturnya.
Apapun yang terjadi, menurut Sutopo yang terpenting pengungsi tertangani dengan baik. Hanya memerlukan payung hukum administrasi yang mudah guna mengeluarkan DSP, BTT dan beras.
"Makanya perlu ada diskresi. Ada perlakuan khusus. Tanpa status tanggap darurat pun yang penting tetap dapat menggunakan anggaran atau tetap ada kemudahan akses. Apapun istilah penggantinya nanti akan dituangkan dalam Perpres. Sebab diksi darurat ternyata implikasinya luas terhadap Bali," demikian Sutopo.