Soal Kecermatan Jaksa yang Disoroti Kubu Novanto
- ANTARA FOTO/Rosa Panggabean
VIVA – Tim penasihat hukum Setya Novanto memandang jaksa penuntut umum KPK tidak cermat menyusun surat dakwaan. Itu mengacu dari tiga surat dakwaan terdakwa korupsi e-KTP yang justru berbeda-beda.
Anggota penasihat hukum Novanto, Firman Wijaya menjelaskan, posisi kliennya yang didakwa melakukan tindak pidana korupsi proyek e-KTP secara bersama-sama mantan dua pejabat Kementerian Dalam Negeri Irman, Sugiharto serta pihak swasta Andi Agustinus alias Andi Narogong.
Tetapi dalam tiga surat dakwaan justru jaksa KPK memaparkan waktu terjadinya tindak pidana atau tempus delicti dan tempat dilakukan tindak pidana atau locus delicti para terdakwa berbeda-beda.
"Tempus delicti terdakwa Irman dan Sugiharto November 2009 - Mei 2015. Namun dalam dakwaan Andi Agustinus alias Andi Narogong November 2009 - Mei 2015. Adapun tempus delicti Setya Novanto November 2009 - Desember 2013," kata Firman saat membacakan eksepsi di Pengadilan Tipikor, Jalan Bungur Raya, Kemayoran, Jakarta Pusat, Rabu, 20 Desember 2017.
Menurut Firman, mengenai perbedaan locus delicti tindak pidana yang terjadi dalam dakwaan Irman dan Sugiharto yakni di Graha Mas Fatmawati, lalu kantor Ditjen Dukcapil dan Hotel Sultan.
Sedangkan locus delicti di dalam dakwaan Andi Narogong, kata Firman yakni di Gedung DPR RI, Hotel Gran Melia dan Graha Mas Fatmawati. Sementara surat dakwaan Novanto, tempat terjadinya tindak pidana disebut di DPR RI, Hotel Gran Melia, Graha Mas Fatmawati, Equity Tower, Jalan Wijaya XIII, Jakarta Selatan.
"Berdasarkan uraian waktu dan tempat dapat disimpulkan surat dakwaan disusun tidak cermat," kata Firman.
Karena itu, kata Firman, majelis hakim patut membatalkan dakwaan jaksa karena tak sesuai Pasal 143 huruf b KUHAP yang mensyaratkan dakwaan berisi uraian secara cermat, jelas dan lengkap soal waktu dan tempat tindak pidana itu dilakukan.