Fahri Hamzah Kenang AM Fatwa Menjelang Kejatuhan Soeharto
- VIVA.co.id / Lilis Khalisotussurur
VIVA – Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Fahri Hamzah mengenang Andi Mappetahang Fatwa atau AM Fatwa sebagai sosok yang memiliki kedekatan emosional dan ideologis dengannya.
Pertama-tama, kata Fahri, AM Fatwa adalah tokoh kelahiran Bone, Sulawesi Selatan, yang pernah cukup lama bermukim di Sumbawa, Nusa Tenggara Barat. Wilayah itu ialah kampung halaman Fahri. Fahri merasa lebih dekat dengan Fatwa karena keturunan orang Bugis.
Dia mengenal lebih dekat dengan Fatwa ketika beraktivitas di Jakarta pada era tahun 1990-an. Waktu itu nama Fatwa sudah melegenda gara-gara terlibat dalam peristiwa-peristiwa politik pada masa pemerintahan Orde Lama maupun Orde Baru, sebagai aktivis sejumlah organisasi Islam, seperti Pelajar Islam Indonesia, Himpunan Mahasiswa Islam, dan lain-lain.
Reputasi Fatwa kian populer setelah dia dipenjara selama 12 tahun oleh rezim Orde Baru.
Peristiwa paling monumental yang dikenang Fahri ialah pada masa-masa menjelang kejatuhan Presiden Soeharto pada tahun 1998. Saat itu, Fatwa bersama sejumlah tokoh Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia, seperti Adi Sasono dan Amien Rais, aktif mendorong reformasi.
Fahri mengingat satu momen menegangkan pada malam 20 Mei 1998, ketika dia dan Fatwa pergi dari rumah Malik Fadjar di kawasan Menteng menuju kawasan Monas. Waktu itu gelombang aksi unjuk rasa mahasiswa menuntut reformasi kian meluas, sedangkan aparat mulai bertindak represif. Dia mendengar kabar bahwa Monas sudah dikepung tentara.
"Kami bertiga dengan Pak Amien Rais naik mobil Pak Fatwa. Setelah melihat Monas yang dipenuhi alat persenjataan berat, kami kembali ke Menteng dan memutuskan untuk membatalkan aksi damai keesokan harinya, yang ternyata malah Pak Harto mengundurkan diri pada 21 Mei 1998," kata Fahri melalui pesan singkat pada Kamis, 14 Desember 2017.
Ia pernah bersama di DPR dan MPR, mengenal secara dekat sekali cita-cita dan perjuangannya sejak awal. Fatwa, katanya, seorang politikus Islam yang memiliki observasi yang sangat luas pada persoalan sejarah, keislaman, dan keindonesian.
"Menurut saya, dia itu seperti sisa akhir dari peninggalan politik Islam dari masa lalu, karena itulah kepergian dia ini membuat kita kehilangan orang yang pernah sangat ada di pentas politik di negeri ini," ujar Fahri.
Fahri juga mengenang saat terakhir ia dan Fatwa berbeda pendapat tentang KPK hingga Fatwa sangat marah. "Tapi entah mengapa pada hari berikutnya beliau mengirim surat meminta maaf, dan saya pun bertamu".
"Dalam kesempatan itu," katanya, "Beliau ada permintaan khusus terkait masa depan politik saya setelah PKS, tetapi saya mendiskusikannya secara santai. Selamat jalan, Pak Fatwa. Kami semua pasti menyusulmu".