Imunisasi di Aceh Tak Merata gara-gara Dianggap Haram
- VIVA/Dani Randi
VIVA – Anggapan bahwa imunisasi haram/najis di kalangan masyarakat Aceh berdampak pada serapan imunisasi di sebagian wilayah di Aceh tidak merata. Akibatnya, daya kekebalan tubuh anak rendah sehingga mudah terserang virus difteri.
Namun hanya beberapa daerah yang cakupan imunisasinya sudah mencapai 80 persen. Apalagi, Aceh termasuk jumlah kasus difteri yang cukup banyak di Indonesia mencapai 93 kasus dan empat orang meninggal selama tahun 2017.
Direktur Rumah Sakit Umum Zainal Abidin (RSUZA), dr Fachrul Jamal, tak menampik bahwa anggapan masyarakat terhadap vaksin imunisasi, masih banyak yang mengira itu haram karena mengandung enzim babi dan bisa membuat anak kejang-kejang.
Anggapan lain bahwa imunisasi itu mahal dan masih ada juga ketakutan lain dari pihak keluarga jika anaknya sampai diimunisasi.
“Ini yang menghambat masyarakat tidak mau melakukan imunisasi. Padahal anggapan itu tidak benar, imunisasi itu halal,” katanya usai melakukan sosialisasi internal terkait wabah difteri di RSUZA Banda Aceh pada Rabu, 13 Desember 2017.
Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Ulama Aceh, Tgk Faisal Ali, tidak mempersoalkan vaksin pada imunisasi bisa digunakan oleh masyarakat. Namun hal yang jadi masalah ialah pengunaan vaksin polio tetes.
“Tidak ada masalah (imunisasi). Vaksin yang ada masalah dengan najis adalah vaksin polio tetes itu,” katanya kepada VIVA melalui sambungan telepon.
Dengan begitu, jika masyarakat tidak mau menggunakan vaksin polio tetes bisa beralih ke cara yang disuntik. “Vaksin yang disuntik tidak ada kaitannya dengan najis,” katanya.
Ia juga mengharapkan Dinas Kesehatan bekerja sama dengan ulama untuk meysosialisasikan vaksin itu agar masyarakat tidak mengira semua vaksin itu haram/najis.